Oleh sebab itu dalam pameran ini sengaja dipajang karya bartahun 2020: “Ulam” sewaktu Gus Her ditakjubkan oleh buku “The Grand Design (Rancang Agung)”, Stephen Hawking.
Atau lukisan bertahun 2019: “Firefly. Bantargebang Series”, terinspirasi dari “The Turning Point (Titik Balik Peradaban), Fritjof Kapra.
Dan di tahun ini lukisan “Babad Sang Kala”––dengan latar belakang nampak seperti bentuk tanda-tanya (“?”)––tersinspirasi oleh buku “A Brief History of Time” (walaupun buku fisika ini ditujukan untuk orang awam, Gus Her yang berlatar belakang seni rupa, membacanya dengan tertatih-tatih).
Karya ini mencoba menarasikan perjalanan manusia menjabar, mengukur, mempersepsi, menalar hakikat realitas––tetapi “homo-sapiens” sebobot Stephen Hawking pun berhenti di tubir jurang maha luas tak berdasar, gelap-gulita, berhalimun tebal.
“Realitas fisika” selalu luput didiskripsikan bahkan dengan bahasa matematika.
Dan lukisan “Lawang Seketeng” inspired by “The Name of The Rose” (1980), karangan Umberco Eco seorang pakar sejarah abad pertengahan dan semiotika.
Sebuah buku yang tidak mudah dibaca; padat tanda, sehimpun sanepo, enigmatik, dan banyak halaman dikepyuri frase-frase bahasa latin dengan konteks sejarah abad pertengahan, sehingga saya membutuhkan buku pendamping, “The Key to The Name of The Rose” untuk mengikuti jalan cerita.
Sudah barang tentu ada perbedaan, meskipun gradual, pada karya-karya lama dengan yang mutakhir.
Pada karya lama terlihat bentuk masih realistik, ada usaha menampilkan objek representatif (nampak jelas pada lukisan berjudul “Ulam”: image Yesus dari lukisan Leonardo da Vinci, “Salvatore Mundi” yang didistorsi).
Sementara lukisan dengan judul “Nginjen” bertahun 2023, bentuknya sudah meluruh, merenyek.
"Akhirnya di pameran tunggal kedua ini saya ingin mengucapkan doa sekaligus magic word: Viva il libro!" pungkasnya.
(Tribunnews.com)