Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis.
Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi.
Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya.
Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani.
Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani.
Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn.
Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian semenjak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern.
Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di nusantara, karena Jaringan ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan dunia Muslim.
Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan.
Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar”.
Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya.
Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Hindia Belanda (al Indunisie, Indonesian Archipelago,op.cit Nusantara).
Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu.
Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di nusantara, hanyalah bersifat politis.
Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam.
Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam.
Islam dimasa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism).
Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing.
Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme.
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan.
Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut.
Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya.
Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo).
Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan nusantara.
Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah).
Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya relasi antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme.
Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara.
Ulama nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll.
Ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme.
Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial) kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di nusantara di atas makin masif berkonsolidasi.
Selain di Makkah Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia.
Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab.
Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya.
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramayn untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun.
Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi , Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Tremas Pacitan, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama.
Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syaikh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogja, Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin Pancor , Lombok NTB), KH ,Ahmad Sanusi Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr. Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah.
Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan.
Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam dalam berbagai bentuknya, karena bagaimanapun di negeri yang Berbhineka tetapi tetap Tunggal Ika ini, meskipun percikan-percikan ulama-ulama Nusantara ini tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia.
Syekh Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama kyai-kyai se-Jawa di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus atau lebih popular dengan sebutan Guru Tua dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Jabodetabek (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Wakhid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih bertahan dan berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).