Islam nusantara mengikuti gaya Walisongo dalam membentuk kultur Islam. Para wali yang ahli syariah dan tasawwuf mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural.
Inilah pintu masuk para ulama nusantara dalam memahami kaidah fiqh (al’adah al muhakkamah, adat menjadi kebiasaan hukum).
Dan dari para wali ini lahirlah lembaga pendidikan pesantren dan jejaring ulama nusantara.
Islam nusantara menegaskan pentingnya dialektika tradisi dan sejarah.
Maka pesantren mengenal sanad ilmu (jalur keilmuan) dengan mencari ilmu lewat guru dan ilmunya bersambung hingga Rasulullah Saw.
Islam nusantara sangat selektif dalam ranah keilmuan dan sangat objektif soal kebudayaan.
Dalam meraih kemerdekaan Indonesia juga demikian, para ulama bersatupadu menata keilmuan dengan membakar santri agar bela negara.
Dua tokoh Syarikat Islam yang berdiri 1912 bernama Haji Samanhudi adalah santri Pesantren Buntet Cirebon, dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah keturunan Kiai Hasan Besari (Pesantren Tegalsari Ponorogo).
Usaha kemerdekaan Indonesia juga bukan isapan jempol, tapi penuh dengan tirakatan dan riyadlah para Kiai.
Kiai Chabullah Said (ayah KH Wahab Chasbullah). Ramalan kemerdekaan sejati sudah ditulis di Menara Masjid Pondok Induk dan baru boleh dibuka tahun 1948 setelah Kiai Chasbullah wafat.
Saat dibuka ternyata ada tulisan empat huruf, ha, ra, ta dan min.
Ternyata itu berbunyi hurrun tammun, kemerdekaan yang sempurna. Dan memang benar 1948 Indonesia sudah diakui merdeka oleh dunia dan agresi Belanda dipukul mundur.
Kiai Abdus Syakur Senori Tuban, temen seperjuangan KH Hasyim Asyari, yang meninggal 1940 sudah meramalkan bahwa Indonesia akan kedatangan Jepang dan akan merdeka tahun 1945 M/1361 H lewat syair karangannya.
Itulah contoh dari dua Kiai yang mempunyai ketajaman dalam melihat Indonesia di masa kemerdekaan.