Ketidaktahuan waktu berakhirnya Covid-19 tersebut apakah akan menunda atau memberhentikan semua aktivitas agenda kenegaraan atau pemerintah dan kegiatan sosial masyarakat? Tentu tidak.
Maka dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan dengan mengedepankan kepatuhan dan ketegasan aparat dalam penerapan protokol kesehatan dan Bawaslu menjadi kunci utama meminimalisir risiko yang akan muncul termasuk dugaan akan menjadi klaster baru Covid-19.
Kewajiban negara lainnya, bukan semata melindungi tapi juga menghormati (to respect) dan memenuhi (to fullfil) hak-hak warga negara lainnya yakni hak memilih dan dipilih sebagai simbol kedaulatan rakyat dalam hak-hak sipil dan politik.
Sama pentingnya melindungi dengan menghormati dan memenuhi hak-hak warga. Bahkan dalam sejarahnya, hak memilih dan dipilih jauh lebih dahulu menjadi agenda perjuangan masyarakat sipil dibandingkan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Menjadi kewajiban negara atau pemerintah, penyelenggara pemilu dan DPR untuk melakukan evaluasi setiap saat seiring dengan situasi Covid-19 dalam pelaksanaan pilkada termasuk pelaksanaan pilkada susulan suatu daerah jika laju perkembangan Covid-19 di daerah tersebut kian mengkhawatirkan.
Kampanye Berbasis Pandemi
Tujuh tahapan terakhir mestinya sudah ada mapping mitigasi pilkada terhadap 270 daerah sehingga kebijakan yang diambil tepat dalam mengadaptasi Covid-19 saat ini.
Covid-19 bukan untuk dihindari tapi ditangani dengan baik dan tepat, itulah makna perlawanan terhadap Covid-19 itu, bukan dengan berbondong-bondong ikut kampanye di tempat umum dan terbuka.
Panwaslu, satpol PP dan aparat kepolisian menjadi garda terdepan dalam pengawasan, penertiban dan penegakan hukum di masa kampanye saat ini.
Sejatinya, secara norma hukum dengan status “kedaruratan” bencana nasional karena pandemi Covid-19 berdasarkan Perppu No 2 tahun 2020 yang telah menjadi UU No 6 Tahun 2020 sebagaimana ditegaskan dalam konsideran pertimbangannya memberi ruang penormaan teknis yang lebih fleksibel kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu agar lebih adaptif dengan situasi dan perkembangan Covid-19 tanpa mengabaikan kualitas pilkada, nilai-nilai demokrasi dan stabilitas nasional.
Merumuskan kebijakan dan norma hukum dalam pelaksanaan kampanye masih cara berpikir biasa-biasa saja, padahal keadaan sudah luar biasa.
Ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 dalam PKPU No 13 tahun 2020 masih membolehkan kampanye dengan pertemuan tatap muka, pertemuan terbuka, dan dialog yang melibatkan banyak orang, ratusan bahkan ribuan orang walau pengaturannya dibatasi maksimal 50 orang.
Kenyataannya, pengaturan ini tidak efektif dan saran saya harus dilarang. Kecenderungan peserta pilkada justeru menyalahkan pemerintah dan penyelenggara pemilu yang dianggap tidak tegas, kurang sosialiasi dan minimnya pengawasan serta penegakan hukum.
Saya pun senyum-senyum dengar alasan peserta pilkada tersebut. Prinsip kampanye kan menyampaikan pesan politik kepada masyarakat.