Oleh: Denny Indrayana
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Presiden Jokowi Yang Terhormat,
Ba’da shubuh pagi ini, sambil menyimak “Kajian Ahad” di masjid komunitas Indonesia Baitul Ma’mur, Laverton, Melbourne, Australia, izinkan saya menyampaikan masukan dan kerisauan saya sebagai tanda sayang kepada Bapak Presiden, dan cinta tak berhingga kepada Indonesia.
Setelah menimbang dalam, saya memilih mengirimkan surat terbuka, ketimbang tertutup. Tentu ada risikonya.
Surat terbuka ini akan dibaca lebih banyak orang, dan semoga sampai serta berkenan pula Bapak baca. Ketimbang surat tertutup, yang terus terang, saya tidak yakin akan sampai ke tangan Bapak untuk disimak.
Salah satu tantangan terbesar menjadi Presiden adalah mampu menyerap masukan dan aspirasi apa adanya.
Karena, berdasarkan sedikit pengalaman saya bekerja di Istana, akan lebih banyak orang yang lebih mudah memberikan kabar baik, menyensor kabar buruk, apalagi kritik.
Akibatnya, Presiden berjarak dengan realitas masalah--yang sewajibnya diketahuinya. Padahal, adalah tanggung jawab seluruh lingkaran dalam Presiden untuk menyampaikan masukan apa-adanya.
Sesuatu yang dulu coba saya lakukan, meskipun dengan risiko membuat muka Presiden berubah, karena mendapatkan informasi yang tidak menyenangkan.
Terus memberikan kabar baik, dan enggan menyampaikan kabar buruk, bukanlah membantu Presiden, tetapi justru menjerumuskannya.
Izinkan saya mengawali surat ini dengan satu cerita.
Hari pencoblosan, 9 Juli 2014, saya mengirimkan pesan twitter, dengan foto salam dua jari bertanda tinta, “Jangan Golput, #SayaPilihJokowiuntukIndonesiaAntiKorupsi.”
Itulah pilihan tulus untuk Bapak. Pilihan itu mengandung harapan, “Jokowi adalah Kita”, bagi saya artinya: Jokowi yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Indonesia yang lebih adil. Indonesia yang lebih antikorupsi.