Pesan itu saya kirimkan dengan sadar. Karena tentu ada konsekuensinya.
Tidak berselang lama, setelah mengirimkan twit itu, saya menerima teks teguran dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Beliau mengingatkan, sebagai Wamenkumham yang anggota kabinet, seharusnya saya mengedepankan sikap netralitas dalam pemilihan presiden, sebagaimana pilihan sikap yang Presiden SBY sendiri contohkan.
Karena pilihan sikap tersebutlah, saya berhak dan bertanggung jawab mengirimkan surat terbuka ini. Berhak menagih janji Presiden Jokowi, khususnya soal penegakan hukum dan antikorupsi.
Bertanggung jawab mengingatkan Bapak Presiden, karena saat-saat ini, saya merasakan persoalan di bidang hukum dan antikorupsi makin menggelisahkan, dan makin jauh dari harapan.
Surat ini saya kirimkan dipicu pernyataan Presiden Jokowi pada headline harian Kompas, Sabtu 5 Maret 2022, menanggapi wacana penundaan Pemilu 2024. Presiden Joko Widodo menyatakan:
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi, Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi."
Bapak Presiden Jokowi Yth.
Sekilas, pernyataan Bapak itu terkesan normal dan benar-benar saja. Namun, jika ditelisik lebih dalam, maka pernyataan itu mengandung banyak kesalahan mendasar.
Penundaan pemilu--yang secara konsep ketatanegaraan lebih tepat merupakan pembatalan--adalah persoalan yang harus disikapi dengan lebih jelas dan tegas. Tidak boleh mendua. Jangan abu-abu. Ini persoalan hitam-putih menjalankan konstitusi bernegara.
Pembatalan Pemilu 2024 adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar.
Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3).
Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat).
Usulan membatalkan pemilu, yang implisit mengandung hasrat memperpanjang masa jabatan petahana Presiden-Wakil Presiden, parlemen pusat dan daerah, bahkan kepala daerah, jelas-jelas bertentangan dengan pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7; anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih melalui pemilu, Pasal 19 ayat (1), 22C ayat (1); dan 18 ayat (3); kepala daerah dipilih secara demokratis, Pasal 18 ayat (4); dan pemilihan umum dilaksanakan berkala setiap lima tahun, Pasal 22E ayat (1).