Data dari MERICS (Institut Penelitian tentang RRT yang berkedudukan di Jerman) tahun 2019 menyebutkan bahwa dua per tiga anggaran untuk proyek BRI dialokasikan di sektor energi dan mayoritas dari proyek-proyek itu masih mengandalkan energi fosil.
Daripada hanya melemparkan kritik, nampaknya lebih baik Barat memang harus mulai bertindak secara konkret jika memang memiliki keprihatinan terhadap lingkungan hidup.
Negara-negara berkembang akan tetap menjalin kerjasama dengan RRT selama Barat tidak menawarkan alternatif apapun.
Dari segi ekonomi, pantas diragukan apakah inisiatif G7 ini bisa menyaingi bahkan mengalahkan BRI yang sudah dimulai satu dekade sebelumnya.
Pertama, dari sudut pandang politik domestik, Presiden Biden dalam konteks pertemuan G7 sudah pernah mengumumkan inisiatif serupa setahun lalu, yaitu “Build Back Better World”, namun kandas dalam pembahasan di Kongres.
“Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investment Global” pada dasarnya adalah kemasan baru dari “Build Back Better World” yang nasibnya masih perlu dicermati apakah akan berakhir juga seperti pendahulunya. Kedua, secara nominal BRI telah menghabiskan 800 miliar dollar AS, jumlah yang melampaui jumlah dana yang diumumkan oleh para pemimpin G7. BRI juga telah menjangkau 125 negara dan 29 organisasi internasional di seluruh dunia.
Dari segi politik, inisiatif G7 ini jelas menunjukkan bahwa negara-negara Barat tidak berperan sebagai pemimpin dalam membantu negara-negara berkembang. Alih-alih menjadi pencetus ide dan frontrunner, Barat menjadi reaksioner yang penuh kecemasan.
Baca juga: Gus Halim dan Dubes Tiongkok Tingkatkan Kerjasama bidang Pembangunan dan Pemberdayaan Desa
Inisiatif G7 ini juga menjadi sebuah pengakuan implisit bahwa kemakmuran tidak menjadi keniscayaan dari sistem politik demokrasi seperti yang diimani oleh para penganut neoliberalisme. Alih-alih mewujudkan pembangunan ekonomi yang efektif, pasar bebas dan peran minimal pemerintah malah menciptakan jurang pendapatan masyarakat yang semakin lebar.
Resep ekonomi neoliberal yang menjadi andalan institusi multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia selama beberapa dekade nampaknya tidak memberikan manfaat konkret sebesar BRI yang baru berjalan selama kurang dari satu dekade.
Godaan Otorianisme
Apakah ini berarti bahwa sistem otoritarianisme pantas dilirik? Tidak dapat dipungkiri bahwa efektivitas sistem politik RRT – dalam mengentaskan kemiskinan dan menciptakan banyak metropolitan kelas dunia – menarik simpati negara-negara berkembang. '
Di berbagai negara terdapat kecenderungan untuk memilih pemimpin yang kuat dengan intervensi pemerintah yang besar.
Di Filipina, misalnya rakyat memilih Bong-bong Marcos, anak diktator untuk menjadi pemimpin dibandingkan dengan Leni Robredo, politisi berlatar belakang hukum dan HAM. Di Turki, kekuatan Erdogan semakin terkonsolidasi karena ketegasannya dalam memerintah.
Di Mesir, Abdul Fattah al-Sisi yang membuktikan diri sebagai pemimpin militer yang kuat mendapatkan dukungan rakyat sejak tahun 2013. Presiden Jokowi sendiri dalam pemilu tahun 2014 juga mendapatkan simpati dari rakyat karena membuktikan ketegasannya dalam memimpin Surakarta dan DKI Jakarta dibandingkan pendahulunya yang terkesan peragu. Rakyat di berbagai belahan dunia sepertinya menunjukkan harapan akan peran pemerintah yang lebih besar dalam menyelesaikan banyak masalah, alih-alih menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
Baca juga: Terima Dubes RRT, Wapres Harap Tiongkok Buka Akses Pasar Lebih Luas Untuk Produk UMKM Indonesia