News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Di Tengah Konflik AS -Tiongkok, Indonesia Jangan Hanya Sekedar Mendayung di Antara 'Dua Karang'

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Klaus H Raditio

Survei yang dilakukan oleh Arab Barometer Network pada akhir 2021 dan awal 2022 menunjukkan bahwa rakyat di 10 negara Arab (termasuk otoritas Palestina) menunjukkan bahwa ekonomi memburuk di bawah rezim demokrasi. Sebagian besar rakyat tersebut juga menginginkan pemimpin yang kuat.

“Musim Semi Arab” yang sempat diharapkan memberi angin segar demokrasi dan menyejahterakan rakyat nampaknya kandas. Rakyat di negara-negara Arab sepakat demokrasi tidak ada hubungannya dengan pembangunan ekonomi.

Bagaimanapun juga, kebutuhan akan pemerintahan yang kuat tersebut tidak melegitimasi otoritarianisme sebagai sistem yang pantas dilirik.

Pemerintah yang tegas tidak sama dengan pemerintah yang otoriter. Persoalan pembangunan ekonomi jauh melampaui debat sistem demokrasi versus otoritarianisme.

Pembangunan ekonomi dapat dicapai bukan oleh tipe rejim, tetapi lebih kepada political will yang berorientasi kepada pembangunan.

Adrian Leftwich (University of York) mengatakan bahwa yang dibutuhkan bukan terutama negara demokratis tetapi negara pembangunan (developmental state). Ini berarti bahwa negara yang berorientasi kepada pembangunan dengan political will yang memberikan manfaat konkret kepada masyarakat dalam jangka panjang.

Model negara pembangunan dapat diterapkan dalam sistem politik demokrasi atau otokrasi. Tentu saja di jalan demokratisasi yang telah diambil Indonesia, kita hanya perlu menegaskan unsur pembangunan dalam pemerintahan, bukan mengubah sistem politik. Kebebasan terlalu berharga untuk dikorbankan demi pembangunan ekonomi.

Dibalik Perdebatan Demokrasi dan Otoritarianisme

Konsensus Washington yang memiliki warna neoliberal dan demokratis kini diperlawankan dengan konsensus Beijing yang memberikan peran sentral kepada negara dalam sistem politik yang non-demokratis.

Konsensus Washington selalu mensyaratkan demokratisasi dan penegakan HAM oleh negara penerima bantuan. Selain itu, konsensus ini juga mengarah kepada integrasi ke dalam pasar bebas, deregulasi dan pengurangan peran pemerintah.

Pihak pemberi bantuan adalah institusi multilateral seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebaliknya Konsensus Beijing menghindari sikap atau perilaku yang dapat dipersepsikan sebagai intervensi urusan domestik, dan bersifat bilateral antar pemerintah.

Beijing tidak menuntut perubahan sistem politik atau perbaikan kondisi HAM, namun ada permohonan tersirat bahwa negara penerima bantuan mendukung posisi Beijing di dunia internasional atau paling tidak, menghindari diri dari perilaku yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan inti Beijing.

Baca juga: Menlu AS Khawatirkan Harmonisnya Hubungan Beijing dengan Moskow di Tengah Konflik Ukraina

Negara-negara berkembang melihat persaingan kekuatan-kekuatan dunia sebagai persaingan ideologis / model pembangunan karena ekonomi memang menjadi fokus mereka. Sedangkan negara-negara adi daya melihat persaingan di antara mereka sebagai rebutan pengaruh dan dominasi regional maupun global.

Pandangan yang mengatakan bahwa akar dari persaingan AS dan RRT misalnya adalah sistem pemerintahan mereka yang berbeda – nampaknya tidak sepenuhnya benar.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini