News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah dari Lintau: Senja di Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla di Lintau Sumatera Barat (Sumbar).

Dengan kata lain, adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, merupakan kerangka atau pola berkehidupan masyarakat Minangkabau seutuhnya.

Baik secara horizontal - vertikal dengan sang maha Pencipta, maupun secara horizontal - horizontal antar sesama manusia, ataupun dengan makhluk lain di alam semesta.

Taat pada filosofi Minang tadi, pasca berdirinya rumah gadang, Mufidah juga membangun Mesjid Tanjung Bonai.

Lokasi masjid kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah gadang Mufidah. Mesjid itu diresmikan Jusuf Kalla dan Datuk Solihin JK serta Mufidah JK tahun 2019.

Menurut Syahrul, orang Minang beprinsip, jika sudah sukses di rantau, jangan sampai lupa memperhatikan kampung.

Itu pula yang diwujudkan Mufidah dengan membangun rumah gadang dan masjid di Lintau.

Rumah gadang dan masjid adalah simbol dari adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah.

Jika ada urusan kaum atau keluarga bisa dimusyawarahkan di rumah gadang. Jika telah selesai bermusyawarah atau tiba waktu sholat maka mereka segera ke masjid untuk sholat berjamaah.

Sekolah Tenun

Bukan hanya itu wujud kepedulian Mufidah terhadap kampung halaman. Mufidah juga mendirikan Sekolah Tenun di Lintau.

Di sekolah tenun itulah para ibu dan kaum remaja warga Sumatera Barat belajar menenun. Kepandaian menenun menjadi sumber tambahan penghasilan keluarga selain dari bertani.

Masyarakat Sumatera Barat antusias dan mengapresiasi pendirian Sekolah Tenun.

Di luar aspek sosial dan ekonomi, pendirian Sekolah Tenun sekaligus memiliki makna besar dalam kegiatan pelestarian budaya tenun yang usianya sudah berabad-abad dan hampir dilupakan generasi sekarang.

Objek Wisata

Nah kembali ke Rumah gadang Mufidah Jusuf Kalla di Lintau. Keberadaannya, tak pelak menjadi salah satu destinasi wisata “tak resmi”.

Tak jarang, para pelintas berhenti di depan rumah itu untuk sekadar berfoto dan ber-selfie. Maklumlah, objek rumah indah itu memang sangat instagramable.

Sekadar Anda ketahui, Tanah Datar memiliki banyak objek wisata yang memanjakan indera penglihatan.

Sebut saja misalnya, Istana Pagaruyung, Danau Singkarak, Benteng Van der Capellen, Panorama Tabek Patah, Kincir Air Talawi, Nagari Tuo Pariangan, Air Terjun Lembah Anai, dan masih banyak lagi.

Tanah Datar juga dikenal sebagai “Nagari” yang paling maju, di samping Koto Gadang di Kabupaten Agam. Dari daerah Tanah Datar juga banyak lahir para pemimpin politik sejak zaman pra kemerdekaan.

“Dokter pertama Indonesia dari Tanah Datar, namanya dr Saleh. Beliau adalah orang tua dari Chaerul Saleh, Ketua MPR RI yang pertama, serta menduduki berbagai jabatan Menteri hingga Wakil Perdana Menteri di era Presiden Sukarno,” papar Syahrul Udjud.

Tokoh Tanah Datar yang lain, di antaranya Ahmad Khatib Datuk Batuah, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia pada awal abad ke-20.

Kuliner Ikan Sasau

Selain itu, Tanah Datar juga dikenal sebagai surganya kuliner Minang. Kuliner Tanah Datar, secara khusus banyak diburu para wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat.

Beberapa kuliner khas Tanah Datar di antaranya Pangek Simawang. Pangek Simawang adalah makanan yang menggunakan ikan Sasau khas Danau Singkarak sebagai bahan utama.

Aneka makanan khas Padang Sumatera Barat (Sumbar). (Istimewa)

Menu lain adalah sate didong. Sekilas mirip sate padang yang Anda sering lihat.

Akan tetapi, cita rasanya jauh berbeda. Bahan kuliner yang satu ini dari daging sapi biasa yang ditaburi bawang di atasnya. Sate ini dilumuri kuah kuning yang harum dan memiliki cita rasa mantap.

Yang tak boleh Anda lupakan, adalah dadiah, kuliner khas yang menggunakan susu murni sebagai bahan utama. Olahan susu kerbau yang sebelum dikonsumsi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam tabung bambu.

Biasanya dadiah dihidangkan bersama ampiang dan gula enau yang terkenal sehat dan legit. Saat mampir di rumah kerabat Doni Monardo, saya sempat mencicipi dadiah. Rasanya mirip keju.

Tentu masih sangat banyak menu lain yang bakal menggoyang lidah Anda. Itu pula yang membuat saya ingin kembali ke sana.

Selain singgah di Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla, sekaligus berburu kuliner lezat khas Minang di kesejukan hawa Lintau, Tanah Datar.

Sarang Hujan

Bicara Tanah Datar tempat rumah gadang Mufidah, kita sontak ingat Padangpanjang. Dua daerah ini hanya berjarak 28 km. Tidak terlalu jauh. Tidak heran jika keduanya memiliki topografi yang relatif sama.

“Padangpanjang adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis Ali Akbar Navis, pengarang 'Robohnya Surau Kami' yang fenomenal itu.

Mengutip AA Navis: di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup “walau kadang orang mati juga dilindasnya,” kata Navis lagi.

“Di kota kecil ini,” tulis Navis pula, “air berlebihan. Hingga ke mana pun kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman bagi kita.”

Akan halnya Padangpanjang, maka Tanah Datar pun merupakan kota kecil yang berada di kaki gunung-gunung raksasa. Ada Gunung Singgalang di Barat, ada Gunung Marapi di Timur, ada Gunung Tandikek agak ke barat daya.

Untuk kita ketahui bersama, ternyata bukan hanya Bogor yang dikenal sebagai “kota hujan”, tetapi juga Tanah Datar.

“We wonen hier in een regennest, Meneer!” kata seorang pelancong Belanda pada akhir abad ke-19. Yang artinya kurang lebih, “Kami tinggal di sarang hujan di sini, pak!”

Tarian Gempa

Doni Monardo, pria berdarah Minang yang saya kenal sejak berpangkat Mayor di tahun 97-an itu, pernah menjabat Kepala BNPB 2019-2021.

Ia bercerita ihwal keistimewaan rumah gadang. Disebut istimewa karena rumah gadang yang benar, pasti tahan gempa.

Apa daya. Roda zaman terus berputar. Satu per satu, rumah gadang yang berusia di atas 100 tahun, mulai lapuk.

Sebagian berhasil direnovasi, sebagian roboh dan diganti konstruksi rumah beton. Karena itu, rumah gadang mulai jarang ditemui di daerah perkotaan. Akan tetapi, Anda bisa menjumpainya di nagari.

Betapa rumah gadang ternyata juga mewarisi kecanggihan leluhur dalam membuat konstruksi rumah tahan gempa.

Kita mengetahui, bahwa Padang (Sumatera Barat) berada di zona subdiksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Eurasia.

Hal ini memberikan kontribusi tektonik di laut maupun di daratan Pulau Sumatera. Tak heran bila di sana, sering terjadi gempa bumi. Rumah gadang (yang benar) adalah rumah tahan gempa.

Saya mengulik lebih jauh referensi seputar rumah gadang. Ternyata, bangunan rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang. Bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah roboh oleh goncangan.

Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar.

Pada pertemuan antara dasar tiang dan batu dilapisi tumpukan ijuk.

Seluruh sambungan setiap pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai paku, tetapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu.

Alhasil, saat gempa mengguncang bumi, rumah gadang akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tiang itu berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara fleksibel.

Benar sekali pepatah “alam takambang jadi guru”.

Salam sehat dari Lintau.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini