News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Invasi Israel, RS Al Shifa, dan Taktik Hamas

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang-orang berjalan melewati gedung-gedung yang hancur akibat pemboman Israel di Gaza, di Bureij di pusat Jalur Gaza, pada 14 November 2023, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas.

Di laut, Israel punya kapal tempur berat maupun ringan, sedangkan Hamas hanya memiliki perahu-perahu ringan berisi spesialis petempur jalur laut.

Ini jelas perbandingan kekuatan tempur yang tidak seimbang. Tapi Hamas memiliki dukungan sosial politik dari rakyat Palestina.

Hamas juga memiliki dukungan global di jaringan organisasi Islam berbagai negara. Beberapa negara Arab, terutama Qatar dan Iran, dikenal menjadi penyokong terkuat Hamas.

Kemampuan persenjataan Hamas juga sebagian besar berkembang pesat di bawah sokongan Iran lewat pasukan khusus Garda Pengawal Republik Iran.

Dalam konteks perang asimetris menggunakan taktik gerilya melawan Israel inilah Hamas menemukan konteksnya.

Melawan musuh sekuat Israel, ibarat Daud melawan Goliath dalam kisah sejarah, yang kecil mesti menggunakan strategi khusus melawan si kuat.

Hasilnya, si kecil yang memenangkan pertarungan. Masjid, gereja, klinik, rumah sakit, sekolah, kampus bisa jadi jaringan benteng perlawanan.

Apakah ini salah? Secara hukum perang, memang melanggar. Tempat-tempat itu mestinya steril dan tak boleh diserang dan jadi basis peperangan.

Sebaliknya, apakah benar menggunakan dalih membela diri, Israel lalu membombardir membabibuta gereja, masjid, klinik, rumah sakit dan hunian warga sipil.

Jelasl pula serangan itu melanggar semua aturan dalam peperangan, atau hukum humaniter atau hukum konflik bersenjata internasional.

Bombardemen itu masuk kategori genosida jika dilakukan sistematis, terencana, dan bertujuan membunuh sebanyak mungkin warga Palestina dengan dalih mereka anggota Hamas.

Realitas dalam perang asimetris lewat taktik gerilya bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi praktik itu bisa jadi lumrah dalam konteks peperangan yang tak seimbang.

Di sisi lain bisa menjadi kampanye buruk bagi pihak seperti Hamas, yang akhirnya dituduh menggunakan berbagai fasilitas terlarang menjadi benteng dan warga sipil sebagai tameng.

Sementara dalam konteks perang hibrida, kenyataan di medan pertempuran Gaza bisa menjadi kampanye dan propaganda untuk memenangkan persepsi publik.

Israel dan para pendukung baratnya, menggunakan media-media global untuk menguasai opini dan persepsi publik atas konflik Israel-Palestina atau Israel vs Hamas.

Penggunaan istilah-istilah ‘teroris, barbar, poros setan, menyamakan Hamas dengan ISIS, menyamakan serangan 7 Oktober 2023 dengan pengeboman 11 September ke AS’, adalah cara itu.

Operasi lintas perbatasan Hamas 7 Oktober 2023 juga dideskripsikan sangat kejam, lewat istilah-istilah yang menggidikkan bulu kuduk.

Kampanye besar media pendukung Israel itu dilawan sedikit media non-barat, termasuk Al Jazeera, Al Mayadeen, FARS, Tasnim Newa Agency, dan beberapa lainnya.

Hamas dan jaringan perlawanan, termasuk kelompok lain di Palestina memanfaatkan media sosial untuk menandingi kampanye media Israel dan pendukungnya.

Hasilnya cukup signifikan. Fakta lapangan secara efektif bisa dikomunikasikan lewat saluran-saluran media sosial dan para influencer barat yang peduli penderitaan rakyat Palestina.

Efeknya bisa dilihat, ketika aksi-aksi solidaritas Palestina meledak di berbagai kota besar dunia, mulai Paris, London, Berlin, New York, Washington, Jakarta, Yordania, Yaman, dan lain-lainnya.

Rentetan aksi global itu melahirkan tekanan besar secara internasional, dan publikasi kuat terkait apa yang terjadi di Gaza.

Memang belum ada yang mampu menghentikan agresi dan invasi serta serangan brutal Israel ke Gaza. Termasuk PBB dan OKI, juga belum bisa menggoyahkan Israel.  

Persekusi, opresi, dan pembunuhan warga sipil juga terus terjadi di bagian lain Palestina, yaitu di permukiman Tepi Barat.

Dari sini kita bisa memahami, satu-satunya kekuatan yang bisa mempengaruhi dan mungkin menghentikan kekejaman Israel hanyalah Gedung Putih.

Tapi sulit mengharapkan AS, ketika Presiden Joe Biden sejak awal perang baru ini sudah menunjukkan dukungan tanpa syarat kepada Israel.

Perang bagaimanapun hanya menyisakan kerusakan dan kengerian Tapi bagi rakyat Palestina, perang mungkin harapan bagi mereka tetap bisa bertahan sebagai sebuah bangsa.

Suku-suku di Nusantara pernah mengalami hal itu ketika imperialisme dan kolonialisme barat mencengkeram dan menguasai wilayah ini.

Perlawanan itu pada akhirnya membuahkan hasil, ketika Indonesia dideklarasikan sebagai wilayah merdeka pada 17 Agustus 1945.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini