Namanya orang panik, ibarat orang hanyut di kali, apa pun ia jadikan pegangan. Jangankan sebatang pohon, sekerat akar pun akan ia jadikan pegangan, yang penting tidak tenggelam.
Termasuk Pasal 299 dan 281 UU Pemilu.
Kini, di mata Jokowi sudah terbayang "racun" yang akan ia dapatkan dari Pilpres 2024. Sebab itu, segala cara pun ia lakukan. Termasuk dengan menabrak fatsoen politik.
Rusaknya Watak
Mengapa Jokowi mendesakkan Gibran menjadi cawapresnya Prabowo?
Mungkin ia butuh sosok penggantinya yang siap melanjutkan program-program pembangunannya, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Jika memang demikian, mengapa harus Gibran? Bukankah Ganjar semula juga siap melanjutkan program pembangunan Jokowi?
Di sinilah mantan Walikota Surakarta ini ambigu. Sebab itu, sebagian pihak menilai pencalonan Gibran dilakukan Jokowi karena wong Solo itu takut kehilangan kekuasaan setelah upayanya memperpanjang jabatannya dengan isu tiga periode menemui jalan buntu.
Kita pun jadi ingat adagium Aung San Suu Kyi ketika pejuang demokrasi Myanmar itu menerima hadiah Nobel Perdamaian 1991.
Katanya, "Bukan kekuasasn yang merusak watak, melainkan ketakutan.
Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai."
Apakah Jokowi yang disinyalir takut kehilangan kekuasaan itu berarti telah mengalami kerusakan watak atau karakter?
Jika demikian, alangkah ironisnya, karena selama ini ia selalu menggembar-gemborkan revolusi mental.
Revolusi mental itu ternyata mental. Justru pada diri Jokowi sendiri.
* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).