News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilpres 2024

Jokowi dan Pilpres 2024: Madu atau Racun?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kertas besar memuat Pasal 299 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatur dibolehkannya presiden melakukan kampanye saat pemilu dengan beberapa syarat, di antaranya tidak ada ikatan keluarga.

Namanya orang panik, ibarat orang hanyut di kali, apa pun ia jadikan pegangan. Jangankan sebatang pohon, sekerat akar pun akan ia jadikan pegangan, yang penting tidak tenggelam.

Termasuk Pasal 299 dan 281 UU Pemilu.

Kini, di mata Jokowi sudah terbayang "racun" yang akan ia dapatkan dari Pilpres 2024. Sebab itu, segala cara pun ia lakukan. Termasuk dengan menabrak fatsoen politik.

Rusaknya Watak

Mengapa Jokowi mendesakkan Gibran menjadi cawapresnya Prabowo?

Mungkin ia butuh sosok penggantinya yang siap melanjutkan program-program pembangunannya, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Jika memang demikian, mengapa harus Gibran? Bukankah Ganjar semula juga siap melanjutkan program pembangunan Jokowi?

Di sinilah mantan Walikota Surakarta ini ambigu. Sebab itu, sebagian pihak menilai pencalonan Gibran dilakukan Jokowi karena wong Solo itu takut kehilangan kekuasaan setelah upayanya memperpanjang jabatannya dengan isu tiga periode menemui jalan buntu.

Kita pun jadi ingat adagium Aung San Suu Kyi ketika pejuang demokrasi Myanmar itu menerima hadiah Nobel Perdamaian 1991.

Katanya, "Bukan kekuasasn yang merusak watak, melainkan ketakutan.

Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai."

Apakah Jokowi yang disinyalir takut kehilangan kekuasaan itu berarti telah mengalami kerusakan watak atau karakter?

Jika demikian, alangkah ironisnya, karena selama ini ia selalu menggembar-gemborkan revolusi mental.

Revolusi mental itu ternyata mental. Justru pada diri Jokowi sendiri.

* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini