Namun, jika ada anggota yang tidak setuju dengan keputusan yang tak diusulkan tetapi tidak ingin menggunakan hak vetonya, maka mereka dapat memilih abstain atau tidak memilih.
Hak veto ini memang strategis tapi juga sekaligus bisa sewenang-wenang jika penggunanya serampangan menggunakan hak vetonya.
PBB sebagai badan dunia beranggota nyaris semua negara di dunia, bisa dianggap macan ompong ketika keputusannya diveto salah satu pihak.
Hal itu umumnya sering terjadi manakala keputusan PBB terkait dengan pihak yang sangat dekat dengan pemilik hak veto.
Contohnya terutama dalam konteks masalah Palestina-Israel. Tak terhitung lagi bagaimana AS menggunakan vetonya ketika PBB ingin membuat resolusi penghentian aksi Israel.
Sikap terbaru AS inilah yang dikritik perwakilan tetap Rusia di PBB, Vasily Nebenzia.
“Dengan menggunakan hak veto untuk kelima kalinya sejak dimulainya eskalasi di Gaza, mereka kembali menunjukkan sikap mereka yang sebenarnya terhadap Palestina,” kata Nebenzia.
“Bagi Washington, mereka (Palestina) tidak pantas untuk memiliki negara sendiri. Mereka hanya menjadi penghalang bagi kemajuan Palestina,” lanjutnya.
“Intinya pertanyaannya sederhana: apakah Palestina layak menjadi bagian dari keluarga dunia, untuk berpartisipasi penuh dalam semua keputusan kehidupan internasional,” Nebenzia beretorika.
Langkah AS ini menurut Nebenzia hanya upaya sia-sia untuk mengubah jalannya sejarah. Ia menunjuk hasil pemungutan suara yang menunjukkan AS adalah minoritas.
Realitas global kini menunjukkan sentimen dukungan ke Palestina bertambah kuat, menyusul persekusi brutal Israel sejak 7 Oktober 2023.
Itu adalah tanggal ketika kelompok bersenjata Hamas melintasi perbatasan, menyerbu permukiman Israel dan menewaskan lebih kurang 1.400 orang.
Serangan darat Hamas yang didukung peluncuran ratusan roket ke wilayah Israel itu memantik kemarahan Israel yang didukung AS dan sekutunya.
Operasi militer balasan langsung digelar militer Israel, menghancurkan sebagian besar Gaza, menewaskan sekurangnya 32.000 orang Palestina.