Negara tersebut belum mengirim senjata apa pun ke Kiev, dan tidak mengizinkan wilayahnya digunakan untuk pengiriman senjata.
Budapest telah menyerukan gencatan senjata dan solusi diplomatik terhadap konflik tersebut.
Ini dilakukan Viktor Orban secara konsisten, karena sejak awal ia melihat ada tindakan tak bertanggung jawab yang tak memperhitungkan dampak keterlibatan UE dan NATO dalam konflik ini.
Eropa menjadi begitu terlibat dalam perang sehingga mereka bahkan tidak memiliki perkiraan mengenai skala biaya dan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan militernya
“Saya belum pernah melihat tindakan yang lebih tidak bertanggung jawab dalam hidup saya,” kata Orban dalam sebuah wawancara dengan saluran YouTube Patriota.
Dia kembali menekankan, NATO ingin menjadi salah satu pihak dalam konflik di Ukraina dan peluang aliansi tersebut untuk dicegah sangat kecil.
Gagasan ekstrem mula-mula diserukan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang tidak mengesampingkan pengiriman tentara Eropa ke medan perang Ukraina.
Ide Macron ini belakangan disambut Sekjen NATO Jens Stoltenberg dalam bentuk dan pendekatan yang agak berbeda.
Jens Stoltenberg berpendapat NATO harus membiarkan Ukraina bebas menggunakan senjata mereka untuk melancarkan serangan lebih jauh ke wilayah Rusia.
Senjata itu meliputi semua bentuk rudal dan jet tempur yang memiliki jangkuan di atas 500 kilometer, yang dikirim AS, Inggris, Prancis, dan anggota NATO lainnnya.
Selama ini, NATO dan sponsor barat masih membatasi bantuan persenjataan jarak jauh ke Ukraina karena mempertimbangkan dampak eskalasi konfliknya.
Jika ide itu disetujui, tidak bisa disangsikan lagi, perang akan melebar, dan sangat terbuka kemungkinan konflik akan melibatkan negara-negara Eropa dan NATO.
Rusia sejak awal sudah mendeklarasikan, setiap senjata dan personal militer asing maupun tentara partikelir yang memasuki Ukraina, menjadi target sah untuk dihancurkan.
Lantas, mengapa Viktor Orban dan Hongaria memilih bersikap melawan kebijakan NATO dan Uni Eropa?