Australia Tarik Dubes, Momentum RI Tinjau Kembali Perdagangan
Menurut Dheyna Hasiholan, jika dilihat dari neraca perdagangan Indonesia dengan Australia selama ini, cenderung belum menguntungkan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Studi Nusantara (Pustara) menilai keputusan pemerintah Australia menarik duta besarnya di Indonesia sebagai dampak hukuman mati warga negara Australia beberapa waktu lalu, perlu disikapi secara proporsional.
Artinya, seperti disampaikan peneliti kebijakan publik Pustara, Dheyna Hasiholan bahwa ini momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah tegas dalam menyikapi hubungan bilateral kedua negara. Termasuk di dalamnya hubungan ekonomi.
Menurut Dheyna Hasiholan, jika dilihat dari neraca perdagangan Indonesia dengan Australia selama ini, cenderung belum menguntungkan untuk kepentingan Indonesia.
Dheyna mencontohkan, adanya kebijakan pemerintah Australia yang mensyaratkan rumah potong hewan (RPH) harus sesuai standar Australia.
Padahal, selama ini Australia tidak banyak dukungan seperti penyediaan sarana prasarana guna memenuhi standarnya.
Akibatnya, ujar Dheyna, tetap saja harga daging sapi di Indonesia tidak semurah yang diharapkan masyarakat. Harga daging sapi lokal tidak beda jauh dengan daging sapi impor.
"Padahal, kita sudah korbankan kesempatan untuk mengembangkan pasar daging sapi lokal," tegasnya, kepada Tribunnews.com, Sabtu (2/5/2015).
Ia mengatakan, pemahaman umum kalau misalkan harga daging sapi impor berjaya tidak semata-mata karena harga daging murah, tetapi diduga ada cara yang ditempuh pemerintah Australia untuk memuluskan kepentingannya, seperti lobi politik ke pemerintah Indonesia.
"Sekali lagi, tidak ada keuntungan signifikan yang didapatkan pemerintah Indonesia dari menjaga hubungan bilateral sektor perdagangan dengan Australia," ujarnya.
Merujuk data Kementerian Perdagangan Indonesia dengan Australia tiga tahun terakhir (2012-2014), dikatakan Dheyana, neraca perdagangan kita terhadap Australia, rerata minus 500.000US$/tahun.
Menurutnya, ini peluang pemerintah Indonesia untuk evaluasi hubungan perdagangan kedua negara, baik produk-produk kita yang diekspor maupun produk-produk Australia yang diimpor.
Bahwa ekspor Migas Indonesia ke Australia rerata 1.200.000US$, sementara impor Non Migas dari Australia, rerata 1.750.000US$.
Kata Dheyna, data neraca perdagangan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia harus lebih meningkatkan ekspor sektor Non Migas, seperti pertanian, perikanan, industri kreatif.
Pasalnya, sektor tersebut akan mampu menambah sumber penerimaan negara yang dengan sendirinya berimplikasi pada penambahan kemakmuran masyarakat Indonesia.
"Ini momentum bagi Pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan visi kedaulatan ekonomi demi terciptanya kesejahteraan ekonomi Indonesia," ujarnya.