Kisah Haru Paskalis, Anak Petani di Pedalaman Papua Berjuang Meraih Mimpi Sekolah S2 di Amerika
Merasa kasihan melihat Paskalis yang selalu berjalan jauh, ia lalu menawarkan tempat tinggal yang lebih dekat.
Editor: Hasanudin Aco
Sampai suatu hari, saat sedang berjalan kaki, Paskalis bertemu seorang dosen.
Merasa kasihan melihat Paskalis yang selalu berjalan jauh, ia lalu menawarkan tempat tinggal yang lebih dekat.
“Jadi dia berikan tempat yang dulu itu gudang salah satu SMA Negeri 3 Merauke. Kebetulan SMA itu berdekatan dengan kampus yang saya kuliah. Jadi Puji Tuhan, saya bisa tinggal di situ, jarak dekat dan saya bisa selesai.”
Bertemu Ibu, Paskalis: “Saya Tidak Kenal Beliau”
Tahun 2016, Paskalis akhirnya lulus kuliah dan bekerja selama satu tahun di sebuah LSM.
Di tahun yang sama, ia memutuskan untuk pulang kampung dan menemui keluarganya. Perjalanan dari Merauke menuju kampungnya di Boven Digoel ditempuhnya dalam total waktu tiga hari.
“Itu jalan darat jalan darat semua. Tapi nanti sampai di kabupaten, dari kabupaten ke distrik. Nanti dari distrik ke kampung itu yang kita biasa berjalan kaki. Itu jalan setapak, jalan hutan,” kata Paskalis.
Satu-satunya cara menuju ke kampungnya adalah dengan berjalan kaki melalui hutan belantara, yang biasanya memakan waktu kurang lebih satu hari.
Tidak ada yang tahu kalau Paskalis akan kembali pada waktu itu, karena sulitnya untuk berkomunikasi langsung dengan keluarga.
“Jadi ketika saya sudah sampai di dekat perbatasan, baru sempat kirim berita lewat orang yang mau duluan ke kampung. Jadi orang sudah kasih tahu. Jadi ibu, dari kampung, dia sudah datang lewat hutan. Sudah tunggu saya di ujung distrik,” ujarnya.
Sepuluh tahun tidak bertemu membuatnya sama sekali tidak mengenal sang ibu.
“Saya tidak kenal beliau, karena ibu semakin…apa yah…sedih sih melihat ibu. Dulu saya melihat ibu masih pakai baju bagus, masih pakai celana bagus, waktu masih ada Bapak. Sekarang ibu bajunya robek, sampai bagian dada, susunya keluar. Terus pikul noken, terus dengan kayu bakar, pegang parang, sebelah pegang bambu air,” ceritanya.
“Sampai saya bilang, ‘ah bukan Ibu.’ Sudah terlalu apa ya, kayak tambah parah begitu. Tapi, Ibu feeling-nya sudah tahu, kalau ini anaknya. Jadi langsung Ibu menangis, terus Ibu teriak, ‘anakku… anakku.’ Langsung ibu datang, peluk saya. Saya berlutut, saya menangis, cium kaki Ibu ya Setelah itu baru kami sama-sama pulang ke rumah,” kenangnya lagi.
Bukan hanya Paskalis yang awalnya tidak mengenali sosok ibunya sendiri, namun, adiknya yang paling kecil, sama sekali tidak mengenalnya, karena dulu masih berumur sekitar satu minggu sewaktu Paskalis meninggalkan kampungnya. Adik-adiknya pun sangat bangga melihat pencapaian kakaknya.