Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Haru Paskalis, Anak Petani di Pedalaman Papua Berjuang Meraih Mimpi Sekolah S2 di Amerika

Merasa kasihan melihat Paskalis yang selalu berjalan jauh, ia lalu menawarkan tempat tinggal yang lebih dekat.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Kisah Haru Paskalis, Anak Petani di Pedalaman Papua Berjuang Meraih Mimpi Sekolah S2 di Amerika
Via VOA Indonesia
Paskalis (ke-2 dari kanan) bersama keluarganya di Papua (Dok: Paskalis Kaipman) 

“Mereka bilang, ‘kita bisa ikut kakak pergi ndak?’ Saya bilang, ‘belum. Nanti, kakak pasti datang. Kakak pulang, nanti, kakak sudah punya rumah baru, kamu bisa ikut kakak. Dari kampung, pergi ke kota, tinggal di kita punya rumah sendiri,’” ujar Paskalis saat menceritakan harapan adik-adiknya.

Saat pulang, Paskalis lalu meminta restu sang Ibu untuk melanjutkan pendidikan S2, walau masih belum tahu bagaimana caranya. Doa ibunya pun menyertainya.

“Ibu bilang, ‘Nak, jalan. Pasti Mama berdoa. Berdoa untuk engkau. Jangan pikir kami. Engkau pergi, kejar apa yang kau sudah cita-citakan. Jadi tidak boleh pikir kami, tidak boleh pikir adik adik.’”

Mengejar Mimpi ke Amerika Demi Keluarga

Atas doa restu sang ibu dan demi mengangkat “harkat orang tua dan adik-adik,” Paskalis kembali berjuang untuk bisa meneruskan pendidikan S2. Ia lalu merantau ke Jayapura, yang ia yakini menyimpan lebih banyak lagi informasi mengenai beasiswa.

Tidak kenal siapa-siapa dan belum punya tempat tinggal, akhirnya Paskalis mencari tahu keberadaan warga Boven Digoel di Jayapura.

Ia beruntung bisa bertemu dengan mahasiswa di Universitas Cendrawasih yang berasal dari Boven Digoel, yang menawarkan tempat tinggal.

Berita Rekomendasi

Sambil mencari beasiswa, tahun 2017, Paskalis mulai bekerja di perusahaan Agri Spice Indonesia di Sentani.

Enam bulan berjalan, ia memutuskan untuk mendaftar beasiswa LPDP atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan di bawah Kementerian Keuangan Indonesia. Salah satu pilihannya pada waktu itu adalah beasiswa Indonesia timur, yang ditujukan salah satunya bagi penduduk asli provinsi Papua.

“Puji Tuhan, saya lulus,” kata Paskalis.

Sebagai penerima beasiswa Indonesia Timur, Paskalis diberi tiga pilihan negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ia memilih yang terakhir.

“Luar biasa sekali punya kesempatan yang baik dari pemerintah Indonesia melalui LPDP, mempercayakan saya sebagai anak Papua, untuk datang kuliah di Amerika,” tambahnya.

Jalan untuk meraih pendidikan S2 di Amerika Serikat sudah terbuka lebar. Sudah pasti senang rasanya, sebagai anak muda dari Boven Digoel, bisa meraih beasiswa hingga ke Amerika Serikat.

Namun, di saat yang sama, pencapaian ini menjadi salah satu titik terberat dalam hidup Paskalis. Ia dihadapi kenyataan bahwa ia harus kembali meninggalkan beban dan tanggung jawabnya, yaitu membantu ibu dan adik-adiknya dalam menjalani hari demi hari.

“Itu yang menjadi hal yang, ‘aduh, sudah mau putus asa, nih. Saya pulang aja sudah.’ Kasihan Ibu sendiri setengah mati. Ibu juga kurang normal. Kenapa saya harus egois, pikir saya, untuk mencapai suatu tujuan yang butuh waktu lama,” ungkapnya.

Paskalis menyadari bahwa gelar sarjana S1 yang ia miliki tidak akan membuatnya mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup adik-adiknya yang tidak bersekolah.

Tak hanya itu, ia juga memikirkan masa depan Boven Digoel, di mana sumber daya manusia di sana masih kurang. Ia pun lalu bangkit dan percaya bahwa semua ini harus ia jalani, demi membawa perubahan dalam kehidupannya dan juga Boven Digoel.

“Saya bisa menjadi aset untuk memberi perubahan di sana. Itu motivasi-motivasi saya,” tegasnya.

Selama kurang lebih satu tahun, ia melakukan berbagai persiapan, baik dalam hal bahasa maupun keberangkatan, hingga akhirnya tiba di Amerika Serikat bulan Agustus 2019.

Kini, Paskalis tengah menjalani program S2 jurusan kebijakan pendidikan dan kepemimpinan, di American University di Washington, D.C.

Alasannya memilih jurusan ini kembali berkaca pada situasi pendidikan di Papua, yang penuh dengan “ketertinggalan” dan “keterpurukan,” terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal.red) dan di perbatasan. Ia bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Boven Digoel dan daerah lainnya yang masih tertinggal.

“Itu bisa lebih baik lagi dengan mungkin ada regulasi yang bisa mengatur tentang tenaga guru yang merata,” jelasnya.

Amerika dan Papua Jauh Berbeda

Kekhawatiran akan budaya dan pendidikan di Amerika Serikat yang menurutnya “sangat maju dan berkembang,” sempat melanda pikirannya. Jika melihat jomplangnya perbedaan Papua dan Jakarta, apalagi Amerika yang menurutnya “sangat jauh sekali” perbedaannya.

Perbedaan inilah yang membuatnya jadi banyak belajar dari Amerika.

“Dari disiplinnya, sistem pendidikannya, terus ketaatan dalam perkuliahan. Jadi tidak bisa kami nyontek. Memang strict sekali kalau di Amerika. Terus kami kumpul tugas itu tidak bisa lebih sedikit telat dari waktu yang sudah ditentukan atau hari.”

Telpon Ibu dari Amerika, “Nak, jangan tipu ibu.”

Paskalis (kiri) bersama ibu (tengah) dan adiknya (kanan) (Dok: Paskalis Kaipman)
Paskalis (kiri) bersama ibu (tengah) dan adiknya (kanan) (Dok: Paskalis Kaipman) ()

Sungguh mengharukan ketika Paskalis mengabari ibunya, bahwa ia kini sudah berada di Amerika Serikat.

“Ibu bilang, ‘Nak, jangan tipu ibu. Aku yang melahirkan kamu, nggak boleh tipu orang tua seperti itu.’ Sampai ibu tidak percaya kalau saya di Amerika. Karena Ibu tidak yakin saya bisa sampai di (Amerika). Dengan kami punya keadaan seperti itu, keterbatasan kami,” ceritanya.

“Tapi, ketika kedua kali telpon, terus kami bisa video call, setelah itu baru ibu lihat saya dengan air mata. Ibu tidak bicara. Ibu cuma diam saja, dengar. Setelah telpon selesai, baru ada saudara yang saya chat, ‘Mama bilang, mama tidak ada pesan apa-apa yang penting engkau sehat, mama selalu doa sampai kita ketemu kembali,” lanjutnya.

Tidak Boleh Putus Asa, “Saya Pasti Bisa”

Pengalaman hidupnya yang luar biasa telah membawanya ke titik hidup yang sekarang. Tak lupa Paskalis berterima kasih kepada semua orang yang telah membantunya hingga hari ini, yang satu persatu membantunya dalam meraih cita-citanya.

“Pasti Tuhan akan buka jalan dengan caranya Dia. Yang penting ada mimpi, tidak boleh ragu dengan segala kekurangan untuk meraih mimpi itu atau cita-cita itu. Yang penting ada niat, semangat, tekun dan terus belajar, berdoa dan bekerja, kemudian selalu rendah hati,” ujarnya.

Seperti moto hidupnya, “saya pasti bisa,” Paskalis berharap dapat mencapai keberhasilan, sebagai tanda terima kasihnya kepada semua yang telah berjasa dalam kehidupannya. [di/em]

Artikel di atas telah terbit di VOA Indonesia.

Sumber: VOA
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas