Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

Mengapa Timur Tengah Kehabisan Banyak Uang karena Cybercrime?

Arab Saudi dan UEA ada di urutan teratas dalam daftar global badan PBB untuk keamanan siber. Di saat yang sama, mereka kehilangan…

zoom-in Mengapa Timur Tengah Kehabisan Banyak Uang karena Cybercrime?
Deutsche Welle
Mengapa Timur Tengah Kehabisan Banyak Uang karena Cybercrime? 

Setiap tahun, cybercrime (kejahatan siber) merugikan pemerintah dan bisnis triliunan dolar. Kerugiannya tak main-main.

Menurut penelitian yang didanai oleh IBM yang meneliti soal pembobolan data di 16 negara, pada tahun 2023, kejahatan siber di Timur Tengah menelan biaya lebih dari $8 juta atau setara 123,8 miliar rupiah per kasus.

Hal ini menempatkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab -- yang menjadi fokus penelitian IBM -- menempati posisi kedua di dunia dalam hal kerusakan finansial semacam ini.

Selain itu, biaya cybercrime di UEA dan Arab Saudi pun meningkat selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2018, studi tahunan yang sama melaporkan bahwa biaya rata-rata serangan siber di sana hanya sebesar $5,31 juta atau setara 82 miliar rupiah.

Mengapa hal ini terjadi?

Hal ini penting untuk dilihat dalam konteks sektor e-commerce yang berkembang di negara tersebut dan bagaimana penetrasi internet yang terus meningkat, yang berarti lebih banyak penduduk setempat yang online daripada sebelumnya.

Namun menurut kementerian terkait di Arab Saudi dan UEA, mereka harus dilindungi dengan baik.

BERITA TERKAIT

International Telecommunications Union (ITU), sebuah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara teratur menerbitkan peringkat kapasitas keamanan siber global dan dalam peringkat terbaru dari tahun 2020, Arab Saudi dan UEA berada di posisi teratas.

Namun, para ahli menunjukkan, peringkat tersebut didasarkan pada informasi yang diperoleh ITU dari negara-negara itu dan meskipun keamanan siber dianggap semakin penting di kawasan ini, bisa saja ada kesenjangan antara kebijakan di negara-negara itu dan bagaimana kebijakannya benar-benar bekerja.

“UEA, Arab Saudi, dan Qatar melakukannya dengan sangat baik dalam hal mendigitalkan layanan publik mereka dan mereka juga memiliki sektor usaha kecil dan menengah yang berkembang pesat,” ujar Joyce Hakmeh, Wakil Direktur Chatham House, lembaga pemerhati masalah keamanan internasional yang berbasis di Inggris.

Hakmeh yang juga seorang pakar kebijakan siber menambahkan: “Namun, seperti yang sering terjadi - dan ini tidak hanya di Teluk, hampir di semua tempat di dunia -- transformasi digital ini terjadi begitu cepat sehingga dapat mengorbankan langkah-langkah keamanan siber yang tepat.”

“Timur Tengah merupakan sarang pembobolan data, terutama karena digitalisasi yang cepat melebihi infrastruktur keamanan siber,” tegas Mohammed Soliman, Direktur Program Teknologi Strategis dan Keamanan Siber di Middle East Institute yang berbasis di Washington.

Profesor ilmu politik di Universitas Eropa di Mesir, Bassant Hassib, dalam sebuah makalah tahun 2022 untuk jurnal Kebijakan Timur Tengah, menuliskan bahwa “hambatan birokrasi menghambat organisasi keamanan siber nasional".

Hassib menyebutkan ada faktor-faktor seperti tanggung jawab yang tidak jelas atau tumpang tindih, penerapan aturan yang tidak merata, dan kurangnya rincian dan panduan yang sama-sama bermasalah.

Kejahatan dunia maya: Sebagian besar tentang uang

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas