Direktur KPLP: Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut Harus Tepat
Indonesia sangat memerlukan adanya sistem tindakan penanggulangan tumpahan minyak yang cepat, tepat, dan terkoordinasi.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Padatanya lalu lintas kapal di seluruh perairan Indonesia sangat berpotensi terjadinya kecelakaan di laut dan berakibat terjadi tumpahan minyak yang mencemarkan atau merusak lingkungan laut dan sungai.
Untuk itu, Indonesia sangat memerlukan adanya sistem tindakan penanggulangan tumpahan minyak yang cepat, tepat, dan terkoordinasi.
Demikian disampaikan Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Ahmad saat menjadi salah satu narasumber pada Webinar Hukum Laut dengan tema Pencegahan dan Pencemaran di Laut, pada hari Rabu, (2/9/2020) di Jakarta.
Webinar Hukum Laut yang diselenggarakan oleh Dinas Pembinaan Hukum TNI Angkatan Laut dibuka oleh Laksamana Pertama TNI Kresno Buntoro selaku Kepala Dinas Hukum TNI Angkatan Laut dengan menghadirkan beberapa narasumber diantaranya dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Direktorat Pengendalian Pencemaran & Kerusakan Pesisir dan Laut, KLHK, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Direktur PT. Slickbar Indonesia dengan moderator Presenter TV One.
Dalam paparannya, Ahmad menjelaskan beberapa kejadian pencemaran laut yang memerlukan penanganan secara cepat, tepat dan koordinasi yang akurat dengan berbagai instansi terkait antara lain adalah terjadi kebocoran minyak akibat ledakan di The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas-Laut Timor Perairan Australia yakni pada posisi 120 41’ LS 1240 32’BT yang mengakibatkan kebocoran minyak (light crude oil) dan gas hydrokarbon dengan estimasi tumpahan 400 barel/ hari (64 ton / hari) Pada tanggal 21 Agustus 2009.
“Begitu juga dengan kejadian tumpahan Minyak di Balikpapan pada tanggal 31 Maret 2018 di Perairan Teluk Balikpapan yang diakibatkan dari kebocoran pipa bawah laut milik PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit (RU) V Balikpapan dari terminal Lawe-lawe, Penajam, Paser Utara menuju RU V di Balikpapan serta terjadinya tumpahan Minyak Platform YYA-1 milik PHE ONWJ terjadi pada tanggal 12 Juli 2019,” kata Ahmad.
Lebih rinci Ahmad menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya minyak dan/atau bahan lain ke dalam perairan dan Pelabuhan sehingga melampaui baku mutu yang ditetapkan.
Hal ini juga sesuai dengan pasal 1, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut adalah tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi untuk mencegah dan mengatasi penyebaran tumpahan minyak di laut serta menanggulangi dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut untuk meminimalisir kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut.
“Dengan demikian setiap terjadinya tumpahan minyak di laut sangat diperlukan adanya penanganan yang cepat, tepat dan koordinasi yang baik antara instansi terkait, sehingga akan meminimalisir kerugian masyarakat maupun kerusakan lingkungan laut lainnya,” kata Ahmad.
Ahmad juga menjelaskan saat ini guna penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Berdasarkan aturan ini, ada 3 (tiga) tingkatan dalam penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia yakni Tier1, Tier 2 dan Tier 3.
Menurutnya tier 1, adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan, atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain, yang mampu ditangani oleh sarana, prasarana dan personil yang tersedia pada pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain.
Tier 2, adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan, atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain, yang tidak mampu ditangani oleh sarana, prasarana dan personil yang tersedia pada pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain berdasarkan tingkatan Tier 1.
Sedangkan tier 3, adalah kategorisasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak yang terjadi di dalam atau di luar DLKP dan DLKR Pelabuhan atau unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau unit kegiatan lain, yang tidak mampu ditangani oleh sarana, prasarana dan personil yang tersedia di suatu wilayah berdasarkan tingkatan Tier 2, atau menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Penanganan tumpahan minyak pada setiap tier tersebut akan naik tingkatannya apabila sarana, prasrana atau personil yang tersedia pada tingkatan tier tersebut tidak mampu menanggulangi tumpahan minyak,” jelas Ahmad.
Sementara terkait Prosedur Operasi Penanggulangan Tumpahan Minyak, Ahmad mengatakan apabila terjadi tumpahan minyak di suatu Tersus/TUKS/Badan Usaha Pelabuhan/Unit Kegiatan Lain, maka Tersus/TUKS/Badan Usaha Pelabuhan/Unit Kegiatan Lain melakukan penanggulangan tumpahan minyak dan melaporkan kejadian tumpahan minyak kepada Syahbandar terdekat.
Selanjutnya, Syahbandar selaku Mission Coordinator (MC) akan membuka operasi penanggulangan tumpahan minyak dan berkoordinasi dengan Unit terkait lainnya untuk membantu penanggulangan tumpahan minyak apabila sarana, prasarana dan personil yang dimiliki oleh pelabuhan yang mengalami musibah tumpahan minyak tidak dapat menanggulangi tumpahan minyak. (*)