SETARA Institute soal Batas Usia Capres-Cawapres: MK Bukan Penopang Legalisasi Dinasti Jokowi
Hendardi menduga permohonan demi permohonan yang masuk ke MK itu bukan lagi bertujuan menegakkan hak-hak konstitusional.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute menyampaikan uji materiil ketentuan batas usia capres/cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki episode kritis dan membahayakan.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyoroti soal gugatan uji materiil yang diajukan ke MK.
Menurut dia gugatan itu bukan lagi soal batas usia tetapi meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan 'bahwa syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/walikota' pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Ia menduga permohonan demi permohonan yang masuk ke MK itu bukan lagi bertujuan menegakkan hak-hak konstitusional.
Melainkan upaya memuluskan langkah Wali Kota Solo sekaligus putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di Pilpres 2024 mendatang.
"Deretan permohonan uji materiil ini bukan lagi ditujukan untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga tetapi diduga kuat dilandasi nafsu kuasa keluarga Jokowi dan para pemuja Jokowi yang hendak mengusung Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, yang belum genap 40 tahun sebagai Cawapres Prabowo," kata Hendardi di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Baca juga: Setara: Cara Politik Terburuk yang Dijalankan Penguasa Jika MK Kabulkan Batas Usia Capres/Cawapres
Hendardi menuturkan puluhan pakar hukum serta pegiat hukum dan konstitusi telah mengingatkan bahwa perihal batas usia untuk menduduki jabatan bukanlah isu konstitusional tetapi kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang tidak seharusnya diuji oleh MK.
"Berbagai putusan MK juga menyatakan hal yang sama. Tetapi operasi politik pengusung dinasti Jokowi hampir menggoyahkan MK untuk memenuhi hasrat kandidasi anak Presiden," ucap Hendardi.
Ia kemudian mengingatkan bahwa MK bukanlah instrumen yang menopang legalisasi dinasti Jokowi.
"Semua elemen harus mengingatkan dan mengawal MK agar tidak menjadi instrumen legalisasi kandidasi yang menopang dinasti Jokowi," ucapnya.
Lebih lanjut, menurutnya, jika MK mengabulkan permohonan ini, maka Mahkamah Konstitusi bukan hanya inkonsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, tetapi juga kehilangan integritas dan kenegarwanan.
"MK akan menjadi penopang dinasti Jokowi, jika karena putusannya, Gibran bisa berlaga dan memenangi Pilpres. Ini adalah cara politik terburuk yang dijalankan oleh penguasa dari semua Presiden yang pernah menjabat," tutur Hendardi.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sidang ini beragendakan mendengarkan perbaikan permohonan para pemohon, yang meminta MK mengabulkan syarat untuk jadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dengan minimal batas usia 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah.
Kuasa hukum pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Dwi Nurdiansyah Santoso, menyampaikan beberapa pokok perbaikan yang dilakukan pihaknya.
Adapun perbaikan tersebut mengenai alasan permohonan yang menjelaskan tentang alasan pentingnya ‘berpengalaman sebagai kepala daerah'.
"Petitum, menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang dimaknai berpengalaman sebagai kepala daerah, baik ditingkap provinsi maupun kabupaten/kota,” kata Nurdiansyah, dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/9/2023).
Sidang tersebut dilakukan Majelis Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
Sebelumnya, Dwi Nurdiansyah Santoso selaku kuasa hukum pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 mengatakan pihaknya mengagumi pejabat pemerintahan berusia muda yang dinilainya berhasil membangun ekonomi daerah. Salah satunya adalah Gibran Rakabuming, yang merupakan Wali Kota Surakarta.
Hal itu disampaikan Nurdiansyah dalam sidang pendahuluan perkara yang dimohonkan pemohon, Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2023) lalu.
"Gibran berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah Surakarta hingga 6,25 persen dari sebelumnya hanya -1,74 persen," dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Nudiansyah juga mengakui, ada banyak data yang menunjukkan sejumlah kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 40 tahun pada Pemilu 2019 dengan kinerja yang baik.
Dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah'.