PROFIL 6 Hakim MK yang Terbukti Langgar Etik, Diganjar Sanksi Teguran Lisan oleh MKMK
Dugaan pelanggaran etik enam hakim MK ini berkaitan penanganan perkara uji materi syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Berikut profil mereka
Editor: Malvyandie Haryadi
Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar Suhartoyo terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu.
Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden
Joko Widodo.Berasal dari keluarga sederhana, tidak pernah terlintas dalam pikiran Suhartoyo menjadi seorang penegak hukum. Minatnya ketika Sekolah Menengah Umum justru pada ilmu sosial politik. Ia berharap dapat bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik memberi berkah tersendiri karena ia akhirnya memilih mendaftarkan diri menjadi Mahasiswa Ilmu Hukum.
Pada 1986, ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung.
Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
4. Wahiduddin Adams
Mengawali kariernya di dunia birokrasi, siapa sangka Wahiduddin Adams, akan melangkah mantap menjadi seorang penjaga konstitusi.
Sosok Wahid -panggilan akrab Wahiduddin- yang sederhana, religius, dan tidak neko-neko menjadi satu faktor kesuksesan kariernya kini.
Semua yang dicapai Wahid diakuinya buah dari kerja ikhlas, doa dari kedua orang tua, dan dukungan dari keluarga tercinta.
Dari orang tuanya pula Wahid mendapat pelajaran hidup yang masih ia pegang teguh hingga saat ini.
Dirinya mengaku selalu ditanamkan prinsip bekerja adalah amanah. Termasuk saat menjalani karier tertingginya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
Bukan hanya orang tua, Wahid juga mengakui peran istri dan ketiga putra-putrinya turut membawanya sampai pada kursi penjaga konstitusi.