Perkara 141 Pengujian Kembali Batas Usia Capres-Cawapres Ditolak MK, Kuasa Hukum Berikan Catatan
Viktor mempertanyakan, bagaimana MK dapat meyakinkan independensinya nanti saat memutus perkara hasil pemilihan umum (PHPU) 2024.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum Pemohon Perkara 141/PUU-XXI/2023, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan beberapa catatan terkait gugatannya yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Viktor menilai, Putusan 141 tersebut nantinya akan menimbulkan persoalan.
Sebab, ia mengatakan, MK melalui Putusan 141 yang diajukan pihaknya itu mengakui Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman itu bisa diterapkan ke MK. Sedangkan, Pasal 17 ayat (6) dan (7) tidak bisa.
Baca juga: Tolak Gugatan Syarat Usia Capres-Cawapres, MK Tegaskan Putusan Perkara 90 Tak Cacat Hukum
Adapun Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya mengatur, sebagai berikut:
"Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara," demikian bunyi Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009 pada pokoknya mengatur, "dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah"
"Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda" bunyi Pasal 17 ayat (7).
Baca juga: MK Tolak Gugatan Syarat Batas Usia Capres Cawapres yang Diajukan Mahasiswa Unusia
"Artinya kalau ada hakim yang punya konflik kepentingan harus mengundurkan diri, tapi itu kemudian dibiarkan artinya dimaklumi, atau bahkan dianggap biasa, karena putusan MK sifatnya final dan mengikat," ucap Viktor, saat ditemui usai sidang pembacaam putusan di gedug MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023).
Viktor mempertanyakan, bagaimana MK dapat meyakinkan independensinya nanti saat memutus perkara hasil pemilihan umum (PHPU) 2024.
"Apakah kemudian ini (konflik kepentingan hakim) akan dibiarkan juga terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti itu, sehingga menjadi khawatir karena nanti MK bisa menempatkan diri pada kecurangan yang bersifat TSM, terstruktur, sistematis dan masif yang sebelumnya berlaku hanya ke KPU, ini juga nanti bisa dikaitkan bisa juga untuk MK, karena ini sifatnya terstruktur," ungkap Viktor.
Tak hanya itu, Viktor menjelaskan, dalam Putusan 141 ini, MK telah mengakui bahwa Putusan 90/PUU-XXI/2023 keliru, karena untuk tingkat wali kota jenjangnya masih sangat jauh dari presiden.
Terkait hal itu, ia mengaku khawatir dan semakin meyakinkan bahwa dugaan Putusan 90 itu untuk memuluskan salah satu pihak untuk maju di Pilpres 2024.
"Itu diakui oleh MK (kekeliruan Putusan 90) tapi kemudian dilempar ke pembentuk undang-undang. Nah, ini saya khawatir pertimbangan hukum ini malah semakin meyakinkan masyarakat bahwa putusan 90 hanya untuk calon yang berkepentingan," tuturnya.