Nasib Kaesang di Pilkada Jakarta, Klaim Lebih Berpeluang Menang di Jateng, Duet dengan Ahmad Luthfi?
Putra bungsu Presiden Joko Widodo ini sempat digadang-gadang maju Pilgub DKI Jakarta, menjadi pesaing Anies Baswedan.
Editor: Wahyu Aji
Elektabilitas Kaesang mengalahkan elektabilitas Kapolda Jateng Ahmad Luthfi berada pada posisi kedua dengan 6,8 persen.
Kini jadi pertanyaan publik, bagaimana bisa elektabilitas Kaesang tinggi di Jawa Tengah yang disebut-sebut merupakan kandang banteng atau basis pendukung PDI Perjuangan?
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi, menyebut ungkapan Jateng sebagai Kandang Banteng kini perlu didiskusikan ulang.
“Orang menyebut Jawa Tengah sebagai kandang banteng, tapi sebenarnya angka pemilih PDIP di sana berapa? PDIP tidak lebih dari 30-40 persen di Jateng,” kata dia dilansir dari Tribun Jogja.
Arya menyebut, angka tersebut memang tinggi, tapi tidak mayoritas dan hanya unggul dibandingkan partai lain.
“Jadi, jika kita membaca pilpres kemarin, Ganjar Pranowo gubernur dua periode, didukung PDI Perjuangan, basis kuat di Jateng, tapi tetap kalah sama Prabowo di Jateng. Dengan begitu, mitos Jateng kandang banteng perlu didiskusikan ulang,” tuturnya.
Ia pun meragukan apakah PDIP masih sekuat dulu?
Sebab, mengingat banyak masyarakat sudah mulai rasional menentukan pilihan pemimpinnya.
Penentuan pilihan pemimpin itu pun tak semata-mata dari partai mana, tapi juga sosok dan rekam jejak tokoh tersebut.
“Pilihan rasional kini sudah jamak di publik dan itu sedikit banyak mereduksi sentimen kepartaian,” terangnya.
Arya mengingat, di tahun 2004, ketika Megawati dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati hanya menang di 3-4 kabupaten di Jawa Tengah.
Ia menyebut, Jawa Tengah bisa disebut kandang banteng, tapi cengkeraman suara tidak cukup kuat dan hanya menempatkan PDIP sebagai partai pemenang dengan angka yang lebih tinggi daripada partai lain.
Baca juga: Kepuasan Warga Terhadap Jokowi Tinggi, Berdampak Kaesang Jadi Kuda Hitam di Kandang Banteng Jateng
“Pilkada ini lebih banyak membaca figur, bukan partai. Jadi, PDIP perlu hati-hati, jangan hanya pakai mesin partai saja karena pemilih kita sekarang rasional dengan melihat rekam jejak,” tukasnya. (*)