5 Kontroversi Aturan Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja
Ada sejumlah aturan yang menjadi kontroversi di kalangan buruh/pekerja di dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
Dan, pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Aturan itu berbeda jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
Di Pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja diatur dalam dua bentuk, pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu.
Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
Pemberian Lembur
Terdapat penambahan waktu lembur yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja.
Pada Pasal 78 ayat 1 huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.
Baca: Batan dan Bapeten Angkut Sisa Tanah yang Masih Mengandung Radioaktif di Perumahan Batan Indah
Baca: Fakta Wisata Seks Halal Kawin Kontrak di Puncak, Terbongkar Lewat Youtube, Tarif Capai Rp 10 Juta
Sedangkan, di draft RUU Cipta Lapangan Kerja yang diatur di Pasal 78 ayat 1 huruf b disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Sementara itu, di Pasal 78 ayat 2 UU Cipta Lapangan Kerja, Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur
Perubahan Rumus Pesangon
Untuk penghitungan pesangon, UU Ketenagakerjaan melihat komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti yang seharusnya diterima pekerja adalah upah pokok.
Sedangkan, di draft RUU Cipta Lapangan Kerja, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh ada dua.
Pertama, upah pokok pekerja. Kedua, tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi perubahan dasar penghitungan, namun, jumlah pesangon yang diberikan apabila pekerja terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengalami perubahan.