Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Seratus Tahun PK Ojong Pendiri Kompas Gramedia (3): Ojong Berintegritas, Media Sekarang Tersesat

Sikap Ojong jelas, sekali mati tapi berarti. Ia menolak untuk mengikuti kemauan rejim Soeharto.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Seratus Tahun PK Ojong Pendiri Kompas Gramedia (3): Ojong Berintegritas, Media Sekarang Tersesat
KOMPAS/Arsip
Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS 

Jadi meskipun dia punya jabatan yang tinggi, beliau tidak pernah memikirkan diri sendiri. Bahkan beliau tidak memikirkan perusahaan. Dia sangat dekat dengan Mochtar Lubis, Fran Seda.

Dia lebih sosialis demokrat dari pada seorang Katolik. Meskipun Katolik-nya taat ya, dan dari sana mungkin perasaan egaliter dan demokratis berdekatan sangat tinggi.

Apa yang paling membekas dari sosok PK Ojong bagi Anda?

Yang juga tidak bisa dilupakan waktu beliau mengurus Kompasiana. Salah satu yang saya ingat dari Kompasiana itu dua hal.

Pertama tulisan mengenai orang Indonesia, dia bilang tidak benar bahwa orang Indonesia malas. Sebagai contoh beliau perlihatkan pedagang air, itu jam tiga subuh sudah bekerja.

Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS
Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS (KOMPAS/Arsip)

Itu saya ingat betul, karena saat itu ramai membicarakan orang Indonesia pemalas, itu pandangan kolonial. Pak Ojong membantah itu dengan kalimat-kalimat pendek, kan Kompasiana pendek-pendek.

Yang kedua Pak Ojong memiliki integritas dan sederhana, itu yang saya senang dari Pak Ojong.

Berita Rekomendasi

Bagaimana Anda memandang perjalanan karier PK Ojong di dunia jurnalistik?

Dulu beliau di Star Weekly, itu majalah Tionghoa-Indonesia, dulu masih campur-campur. Itu ada berita, ada berita detektif, soal perempuan, tapi di Star Weekly pernah ada laporan panjang membahas filsafat pemikiran sejarah Arnold Toynbee.

Suatu hal yang langka majalah seperti itu membahas sejarah pemikiran dan itulah ciri khas Pak Ojong karena beliau mencintai ide-ide.

Dan memang waktu Star Weekly dibreidel, beliau baru membangun keterampilan perusahaan. Sebelumnya tidak peduli. Pak Ojong itu kalau soal bisnis itu dia tidak mau peduli, hanya nulis.

Tapi ketika pabriknya dibreidel, karyawan butuh hidup, maka memikirkan mencari nafkah.

Di situ terlihat bahwa dia berkorban, misalnya juga waktu saya diajak bertemu Mochtar Lubis. Saya tidak kenal Mochtar Lubis, waktu itu dia dipenjara. Pak Ojong datang bawa buku.

Baca: Ingat Kesederhanaan PK Ojong, Liliek Oetama: Baju Bolong Terus Dijahit

Pak Ojong mengusahakan orang-orang yang ditahan karena urusan politik tetap mendapat buku, tahanan politik Bung Karno itu mendapat buku. Jadi Mochtar Lubis diupayakan mendapat buku.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas