Galon di 6 Daerah Terpapar BPA, BPOM Medan Sebut Ada Penanganan yang Salah di Lapangan
Menurut data, sejauh ini 96,4 persen bahan galon adalah polikarbonat, tetapi kemasan yang bebas Bisphenol-A atau BPA baru 3,6 persen.
Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Bardjan
TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak 85 juta masyarakat Indonesia menjadikan Air minum dalam kemasan (AMDK) galon sebagai sumber air minum. Hal ini tampak dari produksi air minum yang mencapai 21 miliar liter per tahun dengan 22 persen di antaranya diproduksi dalam kemasan galon.
Sayangnya, sejauh ini, 96,4 persen bahan galon adalah polikarbonat, tetapi kemasan yang bebas Bisphenol-A atau BPA baru 3,6 persen.
Maka dari itu, keamanan masyarakat sebagai konsumen air galon perlu lebih diperhatikan mengingat risiko paparan BPA pada AMDK galon kemasan polikarbonat (PC). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menentukan ambang batas migrasi Bisfenol A pada kemasan plastik PC.
Sejauh ini, batas BPA 0,6 ppm pada kemasan plastik polikarbonat ditetapkan dalam Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan persyaratan batas migrasi BPA pada kemasan plastik polikarbonat di Uni Eropa (2018) yang ditetapkan 0,05 ppm.
Namun, faktanya, berdasarkan hasil uji migrasi BPA periode 2021-2022 yang dilakukan BPOM, ditemukan paparan BPA pada AMDK galon polikarbonat di enam daerah melebihi ambang batas yang ditentukan. Keenam daerah tersebut yaitu Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.
Hasil uji migrasi BPA pada AMDK yang melebihi 0,6 ppm tersebut menunjukkan bahwa 3,4 persen di antaranya ditemukan pada sarana distribusi dan peredaran. Sementara hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan, 0,05-0,6 ppm, menyebutkan 46,97 persen di sarana distribusi dan peredaran serta 30,19 persen di sarana produksi.
Adapun uji kandungan BPA pada AMDK melebihi 0,01 ppm, 5 persen di sarana produksi serta 8,6 persen di sarana distribusi dan peredarannya.
Selain itu, proses pascaproduksi, seperti transportasi dan penyimpanan AMDK galon dari pabrik menuju konsumen melalui berbagai media dan ruang yang tidak sesuai prosedur, diduga menyebabkan kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat bermigrasi dalam air. Sebagai contoh, kata dia, galon yang terkena panas atau dibanting-banting.
”Awalnya kandungnya BPA-nya zero, tetapi di lapangan meningkat karena penanganan yang kurang baik,” jelas Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Medan Martin Suhendri dalam sarasehan bertema ”Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisphenol A (BPA) pada Air Minum dalam Kemasan (AMDK)”, di Medan, Senin (12/9/2022).
Strategi minimalkan BPA
Terkait strategi untuk meminimalkan paparan BPA, Dr Evi Naria dari Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara mengatakan diperlukan pengendalian aspek teknis dan nonteknis.
Adapun secara teknis diperlukan prosedur operasi standar penanganan produk, pelabelan produk, pemeriksaan kode daur ulang pada wadah plastik, serta penghindaran produk dari paparan suhu tinggi. Sementara untuk aspek pengendalian nonteknis yaitu dibutuhkan regulasi, edukasi, dan studi tentang BPA.
Hal ini sejalan dengan upaya BPOM dalam merevisi peraturan BPOM No 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, dengan wajib mencantumkan peringatan ”simpan ditempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” pada kemasan. Serta, untuk AMDK yang menggunakan kemasan polikarbonat juga wajib mencantumkan tulisan “berpotensi mengandung BPA”.
Seperti diketahui, BPA merupakan zat kimia pengeras plastik yang digunakan untuk memproduksi galon. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa paparan BPA berlebih dapat mengganggu sistem kesehatan tubuh.
Evi menjelaskan, sebenarnya jika terminum, sistem ekskresi tubuh akan mengeluarkan BPA dalam waktu 6 jam. Hanya saja, seseorang bisa minum setiap jam sehingga kandungan BPA pun terakumulasi.
Apalagi, BPA secara cepat dapat diserap sistem pencernaan dan meniru struktur dan fungsi hormon esterogen. Akibatnya, dapat memengaruhi proses tumbuh seperti perbaikan sel, perkembangan janin, tingkat energi dan reproduksi, hingga kesuburan.
Selain itu, kandungan BPA berlebih juga bisa mengganggu fungsi hati, kekebalan tubuh, serta gangguan perkembangan otak, khususnya tumbuh kembang anak.
Melihat risiko kesehatan tersebut, kini sudah banyak negara melarang penggunaan BPA, di antaranya yaitu Perancis, Negara Bagian California di Amerika Serikat, Denmark, Malaysia, Australia, dan Swedia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.