Puskapol UI: Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu Belum Juga Sentuh 30 Persen
Huriyyah mengatakan bahwa hingga saat ini keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu masih mengkhawatirkan.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah menyoroti keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), khususnya pada tahapan seleksi calon anggota KPU di Kabupaten/Kota.
Huriyyah mengatakan bahwa hingga saat ini keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu masih mengkhawatirkan.
Bahkan, keterwakilan 30 persen wanita di lembaga pemilu hingga saat ini masih jauh dari harapan.
Adapun hal itu disampaikannya dalam Konferensi Pers Bersama Hasil Pemantauan Keterwakilan Perempuan dalam Tahapan Seleksi KPU Kabupaten/Kota secara virtual, Minggu (16/4/2023).
“Selalu ada catatan di mana pemenuhan afirmasi keterwakilan perempuan berada dalam kondisi yang masih mengkhwatirkan,” ujarnya.
“Sehingga cita-cita kita untuk memenuhi 30 persen minimal di lembaga penyelengggara pemilu itu masih belum terpenuhi sampai sekarang,” lanjut Hurriyah.
Pada tingkat kabupaten/kota, lanjut dja, masih sedikit daerah yang memiliki keterwakilan 30 persen tim seleksi (timsel) perempuan. Itu dapat dilihat dari data hasil tes tertulis baru-baru ini.
“Bahkan ada daerah yang tidak punya timsel (perempuan) sama sekali, misalnya di Provinsi Papua,” ucap dia.
Baca juga: Pengamat Militer Pertanyakan Wacana Percepatan Pensiun Panglima TNI demi Pengamanan Pemilu
Selain merujuk pada hasil, Hurriyah menyebut pihaknya juga melihat minimnya keterwakilan perempuan ini sejak tahap seleksi.
Pada proses ini, angka keterwakilan perempuan yang lolos dari tes tertulis dan psikologis calon anggota KPU Kabupaten/Kota masih sangat rendah. Bahkan, sambung Huriyyah, angkanya berada di bawah 10 persen.
“Ada sekitar 12 kab/kota. Ini kodisinya sangat rawan,” kata dia.
Menurutnya, minimnya keterlibatan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya berkaitan dengan urusan politik.
“Di mana proses seleksi juga disinyalir diintervensi atau dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari parpol atau kelopok-kelompok masyarakat,” ujarnya.
Ia pun berharap, dalam hal ini KPU menganggap penting keterlibatan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.
Sebab, kata Hurriyah, hal itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2023.
“Bahwa keerwakilan perempuan bukan hanya sekadar lip service,” tukas Hurriyah.