Terkait Aturan Masa Percobaan 10 Tahun Terpidana Mati, Begini Pendapat Sejumlah Pakar
Zaky Yamani dari Amnesty Internasional Indonesia, menyebutkan, di tahun 2022, sudah ada 112 negara yang menghapuskan pidana mati
Penulis: Erik S
Editor: Eko Sutriyanto
Nella Sumika Putri, Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menyoroti sumirnya ketentuan penilaian perilaku terpidana mati dalam UU 1/2023. Terutama pada beberapa kategori penilaian yang mungkin bersifat subjektif.
“Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?” ujar Nella.
Baca juga: LBHM: Hukuman Mati Bertentangan dengan Prinsip Pemasyarakatan
Ia juga mempertanyakan parameter mengirimkan seorang terpidana mati ke lapangan eksekusi. Karena itu, ia meminta negara benar-benar memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan negara untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi dan tidak dapat diberi kesempatan untuk hidup.
“Tentunya hal ini perlu diperjelas dengan parameter yang lebih terukur secara objektif,” tegas Nella.
Selaras dengan pandangan Nella, Muhammad Tanziel Aziezi dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai bahwa tata cara menilai perilaku terpidana mati akan dilakukan dalam peraturan pelaksana.
Misal, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Ditegaskan Aziezi, penilaian ini perlu dipertegas mencegah celah-celah korupsi baru. Jangan sampai, kata dia, penilaian dilakukan secara subjektif saja.
“Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa menilai sikap dan pikiran seseorang secara objektif,” pungkas Aziezi.
Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, para akademisi hukum juga mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca-berlakunya UU 1/2023. Pohan mengingatkan, dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan.
“Dari desainnya penerapan pidana mati harus mengutamakan kepentingan individu, selektif, dan hati-hati,” tegasnya.
Pohan juga mengusulkan beberapa parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu.
Selain Pohan, Aziezi juga menyepakati perlu adanya pedoman penggunaan pidana mati yang sesuai dengan instrumen HAM internasional.
Hukuman mati, meski masih diperbolehkan dalam ICCPR, namun penggunaannya sudah sangat dibatasi untuk kejahatan yang sifatnya luar biasa.
“Standar HAM ini seyogianya dijadikan pedoman dalam penjatuhan pidana mati,” ucap Aziezi.
Di tengah ketidakjelasan dalam menerapkan masa percobaan dan penjatuhan pidana mati yang diatur dalam UU 1/2023, Aziezi menyarankan agar pengadilan di Indonesia mengambil sikap tegas untuk menghindari masalah di kemudian hari.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.