Kuasa Hukum Partai Buruh Klaim Aturan Presidential Threshold 20 Persen Berseberangan dengan UUD 1945
Diketahui, aturan presidential threshold 20 persen diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Buruh bakal mendaftarkan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan presidential threshold atau ambang batas partai politik untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 20 persen.
Diketahui, aturan presidential threshold 20 persen diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Satu di antara kuasa hukum Partai Buruh, Feri Amsari mengklaim, bunyi pasal yang mengatur presidential threshold 20 persen berseberangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ia menjelaskan, di dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu menyatakan, calon presiden dan atau calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu sebelum penyelenggaraan Pemilu.
"Tapi apa yang dilakukan partai-partai di parlemen agar dominasi pengusulan calon presiden itu hanya milik mereka? Maka mereka membentuk pasal 222 atau triple dua dari Undang Undang Pemilu, yang bunyinya berseberangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD, yaitu calon presiden dan atau wakil presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya," jelas Feri Amsari, dalam konferensi pers Partai Buruh, di Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Menurut Feri, ada frasa yang maknanya berseberangan antara yang terdapat pada Pasal 222 UU Pemilu dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
"Lihat, konstruksi pasalnya (Pasal 222 UU Pemilu) sudah sesat, 'pada Pemilu sebelumnya'. Padahal ketentuan UU 6A Ayat (2) mengatakan 'sebelum pemilu'. Jadi partai menyatakan calon itu sebelum pemilu, bukan ditentukan dari hasil pemilu sebelumnya," tegas Feri.
Terkait hal tersebut, ia mengatakan, konstruksi yang berseberangan antara kedua pasal tersebut berbahaya bagi jalannya demokrasi di Indonesia.
"Partai yang berwenang mengajukan presiden hari ini akan berputar-putar menjadi partai yang juga akan berhak pada pemilu berikutnya untuk mencalonkan calon presiden. Kenapa begitu? Logika politik yang tidak pernah bisa dibantah dari hasil penelitian di mana pun, bahwa partai yang berhak mengajukan calon presiden, maka partai itulah yang akan mendapat perolehan suara yang lebih banyak," jelas Feri.
Baca juga: Pengamat Menilai Presidential Threshold 20 Persen Tidak Relevan Lagi Diterapkan di Pemilu
"Jadi ini siklus yang mereka buat sendiri agar mereka terus berkuasa," sambungnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, publik tidak memiliki pilihan pasangan capres-cawapres lain, melainkan hanya dari partai-partai yang bisa menjadi pengusung.
"Publik pemilih tidak punya alternatif (pilihan capres-cawapres), karena mereka akan cenderung secara preferensi politik ya memilih partai yang punya calon presiden," ucap Feri.
"Jadi kita dipaksa ya untuk kemudian memilih partai yang itu-itu lagi. Makanya kalau teman-teman lihat itu, partai enam besar, sepuluh besar paling banyak ya, partainya itu-itu saja. Tidak ada partai baru yang kemudian bisa mengubah suasana politik karena pemilih dipaksa untuk itu (memilih pasangan capres-cawapres hanya dari partai yang bisa menjadi pengusung).
Sebelumnya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal meminta agar presidential threshold tersebut diubah menjadi 0 persen.