Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Amnesty International Indonesia: Reformasi Putar Balik setelah 26 Tahun

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memandang reformasi telah berjalan putar balik setelah 26 tahun.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Febri Prasetyo
zoom-in Amnesty International Indonesia: Reformasi Putar Balik setelah 26 Tahun
Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid di Tugu 12 Mei Trisakti, Jakarta Barat, Jumat (9/2/2024). 

"Kami mendesak Pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan," sambung dia. 

Selain itu, ia memandang upaya pembungkaman kebebasan pers seperti pada masa Orde Baru kini juga dipraktikkan.

Terkini, kata dia, praktik tersebut adalah upaya mengkebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.  

Menurutnya beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi.

Ia mencontohkan Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik. 

"Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik," kata Usman.

Ia juga berpendapat saat membiarkan kebebasan sipil kian tergerus, negara tampaknya juga masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.  

Berita Rekomendasi

Presiden Joko Widodo oada bulan-bulan akhir masa pemerintahannya, menurutnya, telah gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023 lalu.

Baca juga: Bobby Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Kota Medan, Amnesty International: Kita Memasuki Era Nepotisme

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 khususnya perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil, kata dia, hingga kini belum diusut tuntas. 

Menurutnya tragedi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota selama 13 sampai 15 Mei 1998 menimbulkan dampak serius bagi korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. 

Namun, kata dia, pihak yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu masih belum diusut tuntas.  

Selain itu, ia juga mencatat terjadinya kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998.

Menurut catatan Amnesty International, kata dia, pada Juni 1998 Tim Relawan untuk Kemanusiaan merilis laporan yang mengklaim bahwa 168 perempuan yang sebagian besar di antaranya adalah etnis Tionghoa diperkosa dan/atau mengalami pelecehan seksual selama kerusuhan pada Mei 1998.  

"Pengungkapan kasus perkosaan massal ini masih samar. Apa yang terjadi? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Selain merugikan korban secara fisik, kasus ini juga merusak kehormatan secara emosional dan psikologis," kata dia.   

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas