Praktisi Hukum Angkat Suara Tanggapi Kontroversi Putusan Hakim atas Ronald Tannur
Henry menilai kurang tepat apabila kemudian dikatakan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut mengabaikan bukti dan saksi.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur menuai kontroversi di publik.
Anak mantan anggota DPR RI dari PKB, Edward Tannur, itu awalnya dituntut jaksa dengan hukuman 12 tahun penjara. Dia didakwa membunuh kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29), secara sadis.
Kemudian, dalam persidangan, majelis hakim memutuskan membebaskan Gregorius Ronald Tannur sehingga memicu reaksi keras dan protes masyarakat.
Terutama protes datang dari keluarga Dini Sera Afrianti dan akhirnya viral ke publik.
Hal ini memicu netizen melakukan demo besar-besaran ke PN Surabaya untuk membatalkan putusan hakim dan memeriksa para majelis hakim tersebut.
Komisi Yudisial (KY) telah mengambil langkah proaktif dengan menggunakan hak inisiatifnya untuk memeriksa majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur.
Menanggapi polemik putusan hakim tersebut, praktisi hukum Henry Indraguna menilai kurang tepat apabila kemudian dikatakan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut mengabaikan bukti dan saksi.
"Karena secara hukum penilaian terhadap bukti dan saksi tersebut mutlak merupakan hak penuh dari hakim yang bersangkutan dan tidak ada satu pihak pun yang dapat mengintervensinya, karena suatu putusan hakim itu bebas dan merdeka," katanya.
Menurut Henry sebelum hakim memutuskan perkara dimaksud, dalam pertimbangan putusannya tentunya telah memberikan dan memuat alasan-alasan yang sah sebagaimana digariskan di dalam Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di mana menyatakan bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang0undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
"Dan juga telah menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat seperti yang digariskan di dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," kata dia.
Selanjutnya pihak keluarga korban dengan diwakilkan kuasa hukumnya mengadukan Majelis Hakim PN Surabaya tersebut ke Komisi Yudisial (KY).
Dan KY pun akhirnya melakukan pemeriksaan kepada Hakim PN Surabaya.
KY melakukan rapat dengan pihak DPR dan serta juga mengeluarkan rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim hakim tersebut kepada Mahkamah Agung.
"Menurut hemat saya rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim-hakim tersebut adalah kurang tepat, jika alasan dan dasar dikeluarkannya rekomendasi tersebut, karena kasus tersebut viral atau karena Hakim dianggap mengabaikan bukti dan saksi dalam perkara tersebut," ujarnya.
Sebab, kata Henry, KY dalam kapasitasnya sebagai pengawas harus melakukan pengawasan berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40.
Yakni Komisi Yudisial wajib: a). menaati norma dan peraturan perundang-undangan; b). berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan c). menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
"Dan apabila KY melakukan pengawasan diluar itu, tentunya secara hukum hal tersebut tidak berdasar dan sewenang-sewenang," ujarnya.
Menurut Henry rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim hakim tersebut, juga adalah keliru jika alasan dan dasar dikeluarkannya rekomendasi tersebut.
"Karena adanya suatu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KY terhadap isi dari putusan hakim tersebut, termasuk namun tidak terbatas melakukan pemeriksaan terhadap berkas perkara dan pertimbangan-pertimbangan dari putusan tersebut," kata dia.
Sebab hal tersebut menurut Henty bukan ranahnya KY akan tetapi sudah masuk ranahnya Hakim pada Tingkat Kasasi.
Dan apabila itu terjadi menurut Henry, KY sudah melebihi dari kewenanganya.
"Sudah overlapping karena KY telah masuk memeriksa pokok perkara," katanya.
Lagi pula, menurut Henry terhadap perkara tersebut oleh Kejaksaan Agung RI telah diajukan kasasi.
"Sehingga menurut hemat saya sebaiknya siapapun dan pihak manapun juga senantiasa menghormati putusan hakim tersebut,"kata dia.
Karena meskipun KY telah mengeluarkan/menerbitkan rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim-hakim tersebut, menurutnya akan tetapi putusan hakim tersebut secara hukum akan tetap berlaku dan dinggap sah atau tidak batal.
"Karena yang dapat membatalkan putusan tersebut secara hukum hanyalah peradilan yang lebih tinggi yakni Hakim Agung pada Tingkat Kasasi," kata Henry.
Sumber: Warta Kota