Bongkar Tabiat Aipda R, Bukti yang Ditunggu Kompolnas atas Kasus Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang
Kompolnas masih menunggu proses penyelidikan hukum atas tewasnya siswa SMK berinisial GRO (16) dalam insiden penembakan Aipda R di Semarang
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Pravitri Retno W
"Kami menunggu hasil dari Labfor Digital itu, kalau dengan kualitas CCTV atau kualitas rekam jejak digital lain masih ada multitafsir. Kalau dengan Labfor dia bisa lebih jelas dia lebih terang, itu bisa lebih jelas peristiwanya," ujarnya.
"Tapi memang pokok utamanya harus berangkat dari jejak digital itu kita lagi menunggu itu, apakah itu serempetan atau tidak serempatan, ataukah itu menghindar."
"Yang pasti empat sepeda motor itu memang keluar marka jalan, harusnya dia sebelah kiri itu agak ke kanan. Apakah terjadi serempetan ataukah tidak, CCTV itu bisa menjelaskan, dan rekam jejak digital yang lain juga menjelaskan konteks peristiwanya."
"Nah kami sedang menunggu hasil Labfor, bagaimana konstruksi satu peristiwa yang berlangsung dengan hasil laboratorium forensik kejelasan dari CCTV tersebut," tuturnya.
Choirul Anam bersama Kompolnas pun tak menampik jika sejak awal menyebut tindakan yang dilakukan Aipda R termasuk tindakan berlebihan.
Dirinya memberi saran, pelaku sebenarnya bisa berhenti kemudian menghubungi tim atau anggota lainnya untuk penanganan lanjut.
"Sehingga tidak langsung mengambil sikap tindakan yang berlebihan (penembakan) seperti itu," tegasnya.
Sarankan Komisi III Evaluasi Polri
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, sarankan Komisi III DPR dalam mengevaluasi Polri pada kasus penembakan siswa hingga tewas oleh polisi di Semarang tidak hanya fokus pada penggunaan senjata api.
Isnur mengatakan sebaiknya Komisi III mengevaluasi Polri secara sistemik.
Ia mencontohkan misalnya penggunaan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa demonstran.
"DPR harusnya melihat permasalahan kepolisian lebih besar lagi. Jangan sekadar soal senjata api," kata Isnur dihubungi Rabu (4/12/2024).
Karena faktanya, kata dia arogansi atau kemudian brutalisme kepolisian itu bukan hanya soal senjata api.
"Tapi juga misalnya soal penggunaan gas air mata dan water cannon saat demonstrasi, kemudian penggunaan brimob saat menangani massa demonstran," jelasnya.
Atas hal itu, ia menegaskan DPR harusnya lebih besar lagi mengevaluasi Polri secara sistemik. Bukan hanya sebatas senjata api saja.