Termasuk Aset Berisiko, Kripto Bergantung Juga ke Dolar AS, Investor Diminta Tidak Salah Perhitungan
Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, kripto termasuk dalam kategori aset berisiko, meski memiliki tingkat imbal hasil tinggi.
Editor: Sanusi
Dikutip dari BBC News, nilai pasar gabungan dari semua mata uang kripto sempat mencapai US$1,12 triliun (Rp 16.363 triliun) pada Kamis (12/05), sekitar sepertiga dari nilai pada November, dengan kerugian mencapai lebih dari 35 % pada minggu ini saja.
Satu Bitcoin sekarang bernilai sekitar US$27.000 (senilai Rp394 juta), nilai terendah sejak Desember 2020. Pada akhir tahun lalu, Bitcoin sempat menyentuh angka tertinggi US$70.000 (senilai lebih dari Rp1miliar). Padahal Bitcoin termasuk jenis stablecoin.
Ethereum, koin terbesar kedua berdasarkan nilai, telah kehilangan 20 % nilainya dalam 24 jam.
Tether, stablecoin paling populer, juga jatuh dari patokan dolar AS ke level terendah sepanjang masa US$0,95 (senilai Rp13.886,15).
Terra USD (UST), yang biasanya stabil, juga ikut terguncang. Pada Kamis (12/05) UST turun menjadi US$0,4 (senilai Rp5.486), menurut situs web perdagangan Coin Market Cap. Huda menjelaskan, turunnya harga UST disebabkan harga Bitcoin yang rencananya digelontorkan untuk membeli UST juga turun.
Penurunan UST pun mau tak mau mempengaruhi penurunan LUNA, yang dijadikan penopang sebagian besar nilai UST sekaligus sister coin-nya. LUNA turun dari level tertingginya US$118 (senilai Rp1,7 juta), pada bulan lalu, menjadi US$0,09 (senilai Rp1.300) pada hari Kamis (12/05).
Investor yang panik langsung menarik diri dari mata uang kripto utama. Akibatnya, pasar kripto anjlok.
Investor kripto di Indonesia melonjak dalam beberapa tahun terakhir
Pasar mata uang kripto memang memiliki risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi. Sayangnya, menurut Huda, risiko yang tinggi itu belum banyak disadari oleh para investor, terutama di Indonesia.
"Masyarakat ini kebanyakan FOMO, fear of missing out, jadi enggak mau ketinggalan zaman, mereka enggak menyadari bahwa asset kripto ini risikonya ini sangat tinggi, meski menang return-nya juga tinggi," ujar Huda.
Misalnya saja Bitcoin. Pada Desember 2017, harganya US$20.089 (senilai Rp272 juta), tapi pada 2021, harga tertingginya menyentuh US$64.804 (setara dengan Rp939 juta).
Keuntungan fantastis dalam waktu singkat memang menjadi salah satu daya tarik untuk berinvestasi kripto. Belum lagi soal iming-iming di masa depan yang mengatakan bahwa mata uang kripto adalah mata uang masa depan.
Kenaikan harga seperti yang dialami Bitcoin, kata Huda, membuat jumlah investor kripto di Indonesia melonjak tajam, meskipun di masa pandemi Covid-19.
Kemendag menyatakan perdagangan aset kripto di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2020, nilai transaksi asset kripto di Indonesia sebesar Rp64,9 triliun dan pada 2021 jumlahnya meroket hingga Rp859,4 triliun.