Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sinkronisasi Pengembangan Industri Rumput Laut Bagi Kesejahteraan Masyarakat Daerah Pesisir
Salah satu potensi laut yang perlu digali dan dikembangkan adalah komoditas rumput laut.
Editor: Dewi Agustina
Tersedianya lapangan kerja akan memberikan pendapatan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan.
Pendapatan yang diperoleh juga akan memastikan upaya kebutuhan mendasar masyarakat bagi kehidupan yang layak, terutama terkait kebutuhan pangan, dan hal ini menjadi salah satu aspek penting terwujudnya ketahanan pangan.
Volume produksi komoditas perikanan budidaya nasional pada periode 2014-2019 cenderung meningkat dan tumbuh sebesar 2,67%, sebaliknya volume produksi rumput laut pada periode yang sama mengalami kontraksi minus 0,14% (KKP, 2020).
Fenomena data ini patut menjadi perhatian lebih dari pemerintah, khususnya KKP, karena akan mempengaruhi kinerja atau PDB subsektor perikanan.
Hasil rilis BPS terkini, laju pertumbuhan PDB subsektor perikanan (year on year) pada tahun 2019 sebesar 5,81 persen.
Secara triwulanan tahun 2019 masih cukup baik dan laju pertumbuhannya relatif sama dan stabil.
Berbeda dengan kondisi tahun 2020 dengan adanya dampak pandemi Covid-19, laju pertumbuhan PDB subsektor perikanan selama dua triwulan terakhir mengalami kontraksi yang semakin dalam, berturut-turut sebesar minus 0,63% dan 1,03%, kecuali pada triwulan I/2020 tumbuh sebesar 3,52 persen.
Tantangan pada tahun berikutnya akan semakin berat karena dampak pandemi Covid-19 yang masih belum yakin tertangani secara tuntas hingga akhir tahun 2020.
Indikasi awal menunjukkan bahwa volume produksi rumput laut diperkirakan akan menurun pada tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Tujuan lain dari optimalisasi kawasan potensi pengembangan rumput laut adalah peningkatan ekspor.
Kinerja ekspor rumput laut Indonesia pada tahun 2018 dalam bentuk bahan mentah (raw materials) menduduki peringkat pertama dunia, yakni mencapai 205,76 ribu ton (dikutip dari Lampiran Perpres No. 33 tahun 2019).
Volume ekspor komoditas perikanan budidaya nasional pada periode 2014-2019 berfluktuasi dan cenderung menurun dengan kontraksi sebesar minus 1,14%, sebaliknya volume ekspor rumput laut pada periode yang sama mengalami pertumbuhan sebesar 0,53%.
Pada periode yang sama, nilai ekspor komoditas perikanan budidaya nasional dan rumput laut mengalami pertumbuhan berturut-turut sebesar 1,64% dan 6,53%.
Penurunan volume ekspor komoditas perikanan budidaya tidak diikuti oleh penurunan nilai ekspornya.
Kondisi ini terjadi diduga karena harga komoditas perikanan budidaya dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan.
Sedangkan peningkatan ekspor rumput laut diikuti juga oleh peningkatan nilai ekspornya.
Perkembangan harga yang cenderung meningkat secara signifikan menjadi peluang dan insentif bagi peningkatan volume produksi komoditas perikanan budidaya dan rumput laut.
Kesejahteraan Nelayan/Pembudidaya Rumput Laut
Mendalami indikator kesejahteraan sering dikontraskan dengan kemiskinan atau ketidakmampuan rumah tangga atau penduduk untuk memenuhi suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan atau memenuhi kebutuhan hidup layak minimum sehari-hari.
BPS merilis terjadi peningkatan data kemiskinan dari 25,14 juta orang (9,41%) pada Maret 2019 menjadi 26,42 juta orang (9,78%) pada Maret 2020.
Pada periode yang sama, peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan (1,17 juta orang) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (0,11 juta orang).
Namun, persentase penduduk miskin di perdesaan hampir dua kali lipat di perkotaan( BPS: Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2020, 15 Juli 2020).
Menarik untuk mendalami profil rumah tangga miskin.
Hasil rilis BPS mencatat 49,41% rumah tangga miskin menggantungkan hidup dari sektor pertanian pada Maret 2019.
Rumah tangga miskin memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4-5 orang dan cenderung lebih banyak dibandingkan rumah tangga tidak miskin.
Rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan tercatat 16,19%. Ada 12,42 persen kepala rumah tangga miskin yang belum bebas dari buta huruf.
Dari faktor kesehatan, hanya 66,11% rumah tangga miskin yang sudah menggunakan jamban sendiri.
Berbagai informasi ini menggambarkan ketidakmampuan atau ketertinggalan mereka yang dikategorikan miskin.
Dominasi insiden kemiskinan di sektor pertanian diduga cenderung memotret keberadaan mereka di daerah pesisir, tertinggal, maupun perbatasan.
Hasil Potensi Desa (PODES) tahun 2018 yang dirilis BPS mencatat 12.857 desa/kelurahan yang sebagian atau seluruh wilayahnya bersinggungan langsung dengan laut, baik berupa pantai maupun tebing karang atau sekitar 15,32% dari total desa/kelurahan di Indonesia yang berjumlah 83.931 desa/kelurahan.
Perkembangan desa/kelurahan tepi laut tersebut atau lebih dikenal dengan istilah desa maritim mengalami peningkatan dari 11.884 desa/kelurahan tahun 2011.
Permasalahan kemiskinan dan pendidikan yang rendah juga tidak luput dari desa maritim.
Para nelayan atau pembudidaya perikanan dan kelautan semakin menderita karena pemenuhan kebutuhan hidupnya seringkali mengandalkan bantuan tengkulak/rentenir.
Nelayan/Pembudidaya Rumput Laut merupakan bagian dari masyarakat di daerah pesisir yang patut mendapat perhatian pemerintah, dan akan menjadi target program rencana aksi pengembangan budidaya dan pasaca panen rumput laut.
Keberpihakan dan komitmen pemerintah memperhatikan para nelayan/pembudidaya rumput laut ini akan mendorong peningkatan kesejahteraan mereka sehingga terbebas dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Pada akhirnya, kondisi ini akan meningkatkan peran dan kontribusi para nelayan/pembudidaya rumput laut ini dalam mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku mentah (raw material) bagi pengembangan industri rumput laut.
Menakar kesejahteraan petani atau rumah tangga pertanian selama ini masih menggunakan nilai tukar petani (NTP).
NTP secara umum menunjukkan daya tukar dari nilai produk pertanian yang dihasilkan dengan biaya produksi dan barang/jasa yang dikonsumsi.
Dapat dikatakan bahwa NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks yang dibayar pleh petani (Ib).
Penggunaan indikator NTP ini juga diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024 dan menargetkan peningkatan NTP dari 100 (baseline 2018=100, capaian tahun 2018) menjadi 105 pada tahun 2024.
NTP digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan pemerintah dalam melakukan monitoring dan evaluasi berbagai program di bidang pertanian dan dampaknya terhadap kesejahteraan petani.
BPS telah melakukan perubahan tahun dasar penghitungan NTP dari 2012=100 sejak tahun 2013 menjadi 2018=100 sejak tahun 2020.
Perubahan tahun dasar ini dimaksudkan untuk menangkap terjadinya perubahan/pergeseran pola produksi pertanian serta pola konsumsi rumah tangga pertanian di perdesaan sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat.
Disamping itu, perubahan ini juga dilakukan untuk mengakomodir perluasan cakupan subsektor pertanian dan representasi wilayah dalam rangka meningkatkan akurasi data dan mampu mencerminkan kondisi terkini.
Indikator kesejahteraan nelayan/pembudidaya rumput laut belum tersedia secara rinci dari NTP yang dirilis BPS.
Tak ada salahnya, sebagai indikator proksi dapat diamati melalui nilai tukar nelayan (NTN) atau nilai tukar pembudidaya ikan (NTPI).
Selama Januari-Desember 2019 sebelum terjadinya pandemi Covid-19 tampak bahwa NTN dan NTPI (2012=100) menunjukkan nilai indeks diatas 100.
Artinya, nelayan dan pembudidaya ikan mengalami kenaikan dalam hal perdagangan, yaitu tingkat rata-rata harga yang diterima mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat rata-rata harga yang dibayarkan terhadap tahun dasar atau tingkat rata-rata harga yang diterima mengalami penurunan yang lebih lambat daripada tingkat rata-rata harga yang dibayarkan terhadap tahun dasar.
NTN selama tahun 2019 terjadi fluktuasi indeks bulanan, peningkatan indeks berkisar antara 0,15% (terendah di bulan Februari) s.d. 0,69% (tertinggi di bulan Agustus).
Namun, pada bulan-bulan tertentu juga terjadi penurunan indeks berkisar antara minus 0,70% (terendah di bulan Maret) s.d. minus 0,16% (tertinggi di bulan Juli).
NTPI selama tahun 2019 juga terjadi fluktuasi secara bulanan, pola peningkatan dan penurunan indeks relatif sama.
Di tengah pandemi Covid-19 yang ditengarai oleh berbagai para ahli dimulai pada bulan Maret 2020 di Indonesia, NTN pada tiga bulan berturut-turut (April, Mei, Juni) indeksnya mengalami penurunan atau indeknya kurang dari 100.
Penurunan NTN antar bulan di tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19 terjadi pada tiga bulan berturut-turut, yaitu Februari (minus 0,79%), Maret (minus 0,26%), dan April (minus 1,56%).
NTN pada bulan-bulan yang lain indeksnya mengalami peningkatan dan tumbuh berkisar antara 0,01% (terendah di bulan Oktober) s.d. 0,80% (terendah di bulan Juli).
Pertumbuhan indeks bulanan pada periode Juli-Oktober 2020 semakin melambat.
NTPI selama tahun 2020 juga terjadi fluktuasi secara bulanan, pola peningkatan dan penurunan indeks relatif sama.
Ke depan, semoga berbagai upaya pemerintah diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan petani.
Perlu Keberpihakan Pemerintah dan Sinkronisasi Program
Pemerintah harus mengambil peran penting bagi pengembangan masyarakat di daerah pesisir sesuai Nawa Cita, antara lain: pemanfaatan dana desa secara optimal (misalnya, pembentukan koperasi desa yang profesional), pembangunan infrastruktur yang memadai (pelabuhan/dermaga kecil sebagai akses transportasi), dan pembangunan sarana untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Ketiga prioritas pembangunan desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan menjadi poros maritim bagi penguatan ketahanan ekonomi nasional.
Tentu saja, pemberdayaan masyarakat di desa pesisir dengan adanya pengembangan industri rumput laut diharapkan akan meningkatkan kapasitas masyarakat tersebut dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan (BPS: Kajian Sosial Ekonomi Desa Maritim, 2015).
Hilirisasi industri rumput laut sesuai amanah Perpres No. 33 tahun 2019 adalah suatu keniscayaan sehingga strategi pengembangan industri rumput laut nasional 2018-2021 dapat tercapai sesuai target yang diharapkan.
Pendekatan kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam komoditas rumput laut secara lestari dan berkelanjutan patut didukung program pengembangan dan penguatan industri rumput laut oleh semua pihak, antara lain: industri pangan, pakan ternak dan ikan, pupuk, produk farmasi, dan produk kosmetik.
Berbagai program/kegiatan sudah disusun semaksimal mungkin dengan harapan bahwa kesejahteraan nelayan/pembudidaya rumput laut menjadi target akhir yang harus direalisasikan.
Tentu saja, daya dukung lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di daerah pesisir harus disiapkan dan dijaga keberlanjutannya, antara lain: areal lahan produksi, tenaga kerja, sarana dan prasarana budidaya, penanganan hama dan penyakit, bimbingan dan pelatihan, dan upaya lainnya.
Keberpihakan pemerintah dan sinkronisasi program kepada nelayan/pembudidaya rumput laut sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas.
Pada akhirnya, salah satu target output meningkatkan pendapatan pembudidaya rumput laut minimal 5% per tahun menjadi suatu kenyataan secara bertahap dan berkelanjutan.
Saatnya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi sehingga petani mampu meningkatkan pendapatannya dan terbebas dari kemiskinan.
*) Penulis adalah lulusan Doktor dari Program Pascasarjana FEB UI yang saat ini ditugasi sebagai Kasubdit Statistik Peternakan di lingkup Direktorat Statistik Peternakan, Perikanan dan Kelautan, BPS RI.