Kebijakan tersebut dinilainya bakal mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada Januari 2022 lalu. Yang kemudian Indonesia akan mendapatkan protes keras.
Beberapa negara yang akan memberikan respon yakni seperti India, China, Pakistan. Karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini.
“Apakah masalah (pemenuhan CPO di dalam negeri) akan selesai? Kan tidak, justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri,” ucap Bhima saat dihubungi Tribunnews (24/4/2022).
“Biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan, dan Indonesia yang disalahkan,” sambungnya.
Bhima melanjutkan, dalam kondisi terburuk bisa menimbulkan retaliasi atau pembalasan, yakni negara yang merasa dirugikan akan menyetop mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia, sehingga akibatnya bisa fatal.
Tak hanya sampai di situ, kebijakan larangan ekspor CPO akan menguntungkan negara-negara lain yang produsen minyak nabati atau alternatif.
“Pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia sekaligus negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yakni AS dan negara di Eropa,” papar Bhima.
Ia membeberkan, seharusnya yang dilakukan cukup mengembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) CPO 20 persen.
Sejalan adanya kebijakan tersebut, Pemerintah harus lebih aktif dalam membenahi soal kepatuhan produsen.
“Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup. Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan kemana kalau stop ekspor?” pungkasnya.