TRIBUNNEWS.COM - Kasus Covid-19 telah surut dalam beberapa hari terakhir, Beijing akan kembali membuka sekolah, Sabtu (25/6/2022).
Komisi pendidikan Beijing mengatakan semua siswa sekolah dasar dan menengah di ibu kota dapat kembali melakukan pertemuan tatap muka mulai Senin (27/6/2022).
Untuk siswa tahun senior di sekolah menengah pertama dan menengah atas diizinkan kembali ke sekolah mulai 2 Juni, seperti dilansir CNA.
Sementara untuk sekolah taman kanak-kanak akan diizinkan dibuka kembali mulai 4 Juli 2022, mendatang.
Beijing telah menutup sekolahnya pada awal Mei lalu dan meminta siswa untuk beralih ke pembelajaran online di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang ditularkan secara lokal.
Baca juga: Angka Positivity Rate Covid-19 di Indonesia Alami Peningkatan, Satgas Sebut Masih Aman
Biro Olahraga Kota Beijing mengatakan secara terpisah bahwa kegiatan olahraga untuk kaum muda dapat dilanjutkan di lokasi non-sekolah pada 27 Juni di daerah di mana tidak ada kasus komunitas yang dilaporkan selama tujuh hari berturut-turut, dengan pengecualian tempat-tempat bawah tanah, yang akan tetap tutup.
Partisipasi harus dibatasi hingga 75 persen dari kapasitas normal dan peserta harus menunjukkan tes Covid-19 negatif yang diambil dalam 72 jam terakhir, katanya.
Beijing termasuk di antara beberapa kota di China yang menerapkan pembatasan untuk menghentikan penyebaran gelombang Omicron dari Maret hingga Mei.
Upaya-upaya tersebut telah menurunkan kasus tetapi telah berdampak besar pada ekonomi negara itu.
Untuk pertama kalinya sejak 23 Februari, Shanghai pada hari Sabtu melaporkan tidak ada kasus lokal baru, baik yang bergejala maupun tanpa gejala,
Shanghai terus melakukan pengujian PCR massal untuk 25 juta penduduknya setiap akhir pekan hingga akhir Juli dan makan di dalam ruangan tetap dilarang di sebagian besar kota.
Pakar Epidemiologi Sebut Gelombang Keempat Covid-19 Lebih Sulit Dideteksi
Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menilai situasi pandemi di tanah air mengarah pada gelombang keempat.
"Tapi begini, potensi gelombang empat ini kan tidak seperti waktu varian Delta ya, atau bahkan Alpha. Kasus infeksi akan banyak, walau yang terdeteksi sedikit," ungkapnya pada Tribunnews, Jumat (24/6/2022).
Di sisi lain, untuk melihat kasus, diperlukan kemampuan testing dan treacing. Sejauh ini kasus infeksi yang ada di masyarakat banyak. Dan mayoritas tidak terdeteksi.
Sehingga pola puncak kasus infeksi tidak akan tinggi. Walau secara teoritis lebih banyak. Karena sub variab BA.4 dan BA.5 punya kemampuan tidak hanya menginfeksi orang yang sudah divaksinasi.
"Bahkan sudah divaksinasi dua atau tiga dosis bisa terinfeksi lagi. Reinfeksi pun bisa. Kecenderungan di banyak negara, kasus infeksi ini yang disatukan re-infeksi jadi lebih banyak dan lebih tinggi dari pada Delta," papar Dicky lagi.
Baca juga: Tambah Hampir 2.000 Kasus Satu Hari, Kementerian Kesehatan: Covid-19 Masih Terkendali
Baca juga: PPKM dan Vaksin Penting, Pencegahan Covid-19 Juga Harus Diikuti dengan Prokes
Sehingga menurut Dicky dibutuhkan dua kombinasi. Pertama, strategi testing yang aktif. Kedua masyarakatnya juga harus punya perilaku yang mau melakukan tes.
"Karena modal imunitas saat ini, khususnya Indonesia, mayoritas yang terinfeksi tidak bergejala. Tidak merasa membawa virus. Atau merasa penyakit flu saja. Itu yang membedakan," kata Dicky lagi.
Sehingga esensial yang diamati sebetulnya adalah indikator keparahan, kesakitan, dan masuk rumah sakit.
Atau yang masuk ke ruang isolasi dengan gejala dan dilihat juga dari angka kematian. Selain itu Dicky menyebutkan jika survelens genomic juga perlu untuk diperkuat.
(Tribunnews.com/Yurika/Aisyah Nursyamsi)