TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari Minggu dini hari, 14 April 2024, Iran meluncurkan serangan besar-besaran ke Israel dengan nama sandi "Operasi Janji Setia".
Serangan Iran ini merupakan serangan kombinasi drone, rudal jelajah dan rudal balistik ke sejumlah objek militer di negara yahudi tersebut.
Mantan perwira intelijen Korps Marinir AS, Scott Ritter, menilai serangan balasan Iran terhadap Israel akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kemenangan terbesar abad ini.
Dalam ulasannya, Scott mengatakan, senjata-senjata Iran mampu menembus sistem pertahanan anti-rudal terintegrasi yang luas: sistem “Iron Dome”, baterai rudal Patriot buatan AS, dan pencegat rudal Arrow dan David’s Sling. Belum lagi pesawat tempur AS, Inggris, dan Israel.
"Lebih dari selusin rudal Iran tetap mampu menghantam lapangan udara dan instalasi pertahanan udara Israel yang sangat dilindungi," ujar inspektur nuklir AS di era Uni Soviet tersebut.
Ia mengingatkan, serangan rudal Iran terhadap Israel tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan pembalasan atas serangan Israel pada tanggal 1 April terhadap Gedung Konsulat Iran, di Damaskus, Suriah, yang menewaskan beberapa komandan senior IRGC.
Meskipun Israel pernah melakukan serangan terhadap personel Iran di Suriah di masa lalu, serangan pada tanggal 1 April berbeda karena tidak hanya membunuh personel Iran yang sangat senior, namun juga dengan menyerang wilayah yang secara hukum merupakan wilayah kedaulatan Iran, yakni konsulat Iran.
Dari sudut pandang Iran, serangan terhadap konsulat adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan.
Sebab, jika tidak dibalas, akan menghapus segala gagasan pencegahan, membuka pintu bagi tindakan militer Israel yang lebih berani, hingga dan termasuk serangan langsung terhadap Iran.
"Namun, yang menjadi pertimbangan terhadap tindakan pembalasan adalah adanya jaringan kompleks dan bisa memicu konflik skala besar antara Israel dan Iran."
Pertama dan terpenting, kata Scott, Iran telah terlibat dalam kebijakan strategis yang didasarkan pada pergeseran dari Eropa dan Amerika Serikat, menuju Rusia, Tiongkok, dan daratan Eurasia.
Pergeseran ini didorong oleh rasa frustrasi Iran terhadap kebijakan sanksi ekonomi yang didorong oleh AS, dan ketidakmampuan dan/atau keengganan kolektif Barat untuk menemukan jalan ke depan agar sanksi-sanksi tersebut dapat dicabut.
Kegagalan perjanjian nuklir Iran (Rencana Aksi Komprehensif Bersama, atau JCPOA) dalam menghasilkan peluang ekonomi seperti yang dijanjikan pada saat penandatanganan perjanjian telah menjadi pendorong utama di balik poros Iran yang mengarah ke timur.
Sebagai gantinya, Iran telah bergabung dengan Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) dan forum BRICS dan telah mengarahkan energi diplomatiknya untuk melihat Iran berintegrasi secara menyeluruh dan produktif ke dalam kedua kelompok tersebut.