TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kabarnya telah menolak “judicial review” (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan usia minimum calon presiden/wakil presiden 40 tahun, diubah menjadi 35 tahun, yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan pihak-pihak lainnya.
Namun, putusan itu tak kunjung dibacakan.
Belakangan muncul “judicial review” lagi dari mahasiswa asal Solo, Jawa Tengah, agar pada Pasal 169 huruf q ditambahkan klausul "dan/atau yang sudah berpengalaman sebagai kepala daerah", sehingga mereka yang pernah menjadi kepala daerah bisa maju sebagai capres/cawapres meskipun belum berusia 40 tahun.
Kedua gugatan itu ditengarai sebagai akal-akalan pihak penggugat untuk meloloskan sosok tertentu.
Perhatian publik pun tertuju kepada Gibran Rakabuming Raka.
Putra sulung Presiden Jokowi yang masih menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah, ini dirumorkan mau maju sebagai cawapres, berpasangan dengan Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo.
Diminta komentar soal itu, pakar hukum tata negara Dr Refly Harun berpendapat, bahwa tak boleh menjustifikasi atau menghakimi niat pemohon “judicial review” batas minimal usia capres/cawapres ke MK, karena itu merupakan hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
"Semua terserah MK-nya bagaimana, apakah mau meng-entertain (melayani) kepentingan orang per orang atau tidak. Kalau bacaan saya sih memang gugatan semacam itu untuk meloloskan sosok tertentu," kata Refly Harun saat dihubungi, Kamis (28/9/2023) malam.
MK, katanya, jangan ngotot untuk memutuskan perkara itu, karena soal usia capres/cawapres merupakan "open legal policy" (kebijakan hukum terbuka) yang menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, bukan ranah MK.
"MK itu tugasnya ‘mengadili’ undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Kalau umur 40 tahun mau dikatakan inkonstitusional, itu dasarnya apa? Juga kalau umur 35 tahun mau dikatakan konstitusional itu dasarnya apa? Usia itu relatif, maka penempatannya di undang-undang, dan pembentuk undang-undang adalah pemerintah dan DPR. Nah, untuk menentukan usia minimal capres/cawapres, ya perdebatannya di DPR, bukan di MK," jelasnya.
Begitu pun kalau usia 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah boleh menjadi capres/cawapres, jika gugatan itu dikabulkan, kata Refly, maka akan muncul gugatan-gugatan lain dari mereka yang berprofesi selain kepala daerah.
"Jika itu dikabulkan, profesi-profesi lain pun akan mengajukan gugatan yang sama. Mereka akan menuntut keadilan sesuai prinsip ‘equality before the law’," cetusnya.
Refly yakin, gugatan-gugatan tersebut ditujukan untuk meloloskan sosok tertentu. Lalu, apakah MK akan mengabulkan?
Menurut Refly, jika sudah ada “deal-deal” antar-partai politik bahwa Gibran Rakabuming Raka akan menjadi cawapresnya Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo, ia yakin MK akan mengabulkan gugatan tersebut.
Baca juga: Mahfud MD Tegaskan MK Tak Punya Wewenang Ubah Batas Usia Capres Cawapres
"Kenapa? Karena ada faktor Anwar Usman (Ketua MK) yang punya hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi sebagai adik iparnya," cetus akademisi yang memang vokal dan kritis ini.
Sebab itu, kata Refly, ketika mengadili soal batas usia capres/cawapres, yang oleh publik sudah terlanjur dikaitkan dengan Gibran, maka seyogianya Anwar Usman nonaktif dulu dari jabatan Hakim MK maupun Ketua MK.
"Agar tak terjadi 'conflict of interest' (konflik kepentingan). Menghindari konflik kepentingan ini merupakan prinsip peradilan di seluruh dunia. Nah, kebetulan di MK ada Anwar Usman yang punya hubungan keluarga dengan Jokowi. Kita tidak melihat Anwar Usman-nya. Saya kenal Anwar Usman, dia orang baik yang tak pernah mau menyinggung perasaan orang lain. Tapi ini soal prinsip anti-konflik kepentingan yang berlaku di seluruh dunia," paparnya.
Jika tidak mundur, kata Refly, maka Anwar Usman akan serba salah.
"Jika mengabulkan gugatan maka akan dituding berpihak ke saudaranya. Jika menolak gugatan maka akan dicap putusannya itu demi menepis tudingan yang tidak enak karena ia ada hubungan keluarga dengan Presiden. Jadi serba salah,' tandasnya.