TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari Senin (16/10/2023), Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan akan membacakan putusan terkait judicial review (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas minimal usia calon presiden/calon wakil presiden 40 tahun.
Usia minimal 40 tahun ini diminta untuk diturunkan menjadi 35 tahun atau bahkan 25 tahun dan/atau yang pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.
Dengan demikian meskipun belum berusia 40 tahun, seseorang tetap bisa menjadi capres/cawapres kalau pernah menjadi penyelenggara negara seperti gubernur, bupati atau walikota.
Putusan MK akan dibacakan hanya tiga hari sebelum dimulainya pendaftaran capres/cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilihan Presiden 2024 yakni Kamis (19/10/2023).
Disinyalir uji materi yang diajukan itu untuk mengakomodasi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah.
Apalagi Gibran yang baru berusia 36 tahun ini mengaku ditawari Prabowo Subianto, capres dari Partai Gerindra untuk menjadi cawapresnya.
Akademisi Rocky Gerung pun mengecam keras langkah MK yang tetap menyidangkan perkara terkategori "open legal policy" (kebijakan hukum terbuka) itu yang semestinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang yakni pemerintah dan DPR RI.
"Kita mewakili kemarahan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Kita menghendaki ada semacam etika. Etis enggak kalau PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang ketuanya Kaesang Pangarep (adik kandung Gibran) meminta MK yang ketuanya pamannya, Anwar Usman, supaya Gibran dijadikan calon wakil presiden dan setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga. Ini pertama," kata Rocky Gerung dalam rekaman suara yang diperoleh, Rabu (11/10/2023).
Kedua, kata Rocky, generasi baru tak boleh mewarisi keburukan-keburukan MK.
"Bekali-kali saya terangkan, MK adalah Mahkamah Konstipasi (sembelit) kayak ngeden begitu. Ini bagian terburuk dari praktik konstitusi kita," jelasnya.
Kritik atas MK tersebut, kata Rocky, bukan sekadar mempersoalkan gugatan itu masuk akal secara hukum tata negara atau tidak.
"Ini tidak masuk akal secara etis dan 'public etic' (etika publik) itu yang sesungguhnya dilanggar MK berdasarkan kesepakatan dengan Jokowi," paparnya.
"Dua institusi ini, Presiden dan MK, berkomplot untuk membatalkan dasar-dasar berdemokrasi," lanjutnya.
Untuk itu, Rocky yang juga adalah salah seorang pendiri SETARA Institute inimengatakan harus ada kemarahan publik yang diucapkan dengan tegas bahwa rakyat menuntut keadilan konsutitusional.