TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pegiat lingkungan mengungkapkan keresahannya terkait kondisi hutan adat saat ini. Keberadaan hutan adat kian parah karena pengakuan oleh pemerintah dinilai minim.
Persentasi hutan adat sekarang hanya 1,6 persen atau sebesar 221.648 hektare dari total 20.856.744 hektare potensi hutan adat yang ditetapkan.
Potensi tersebut setara dengan 10.93 persen luas daratan Indonesia.
Baca juga: Cak Imin Disarankan Tak Lagi Gunakan Gimik Monoton dalam Debat Cawapres
Proporsi penetapan hutan adat yang rendah berada di Maluku dengan 0,10 persen dan Papua 0,36 persen.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya ketidaksetaraan regional dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Ini memerlukan perhatian khusus terutama di wilayah-wilayah tersebut guna memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi.
Oleh karena itu, sejumlah pegiat berharap dalam debat cawapres nanti malam, dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, muncul gagasan baru dari masing-masing kontestan.
Baca juga: Cak Imin, Gibran, dan Mahfud Siap Hadapi Debat Cawapres, Disebut Bakal Seru dan Ada Kejutan
Communication Strategist Development Dialog Asia (DDA), Mardiyah Chamim menyoroti pentingnya perlindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dari penambangan nikel, dan ekspansi sawit.
“Harapanku, Pak Mahfud juga membahas bagaimana melindungi masyarakat adat dan komunitas lokal dari penambangan nikel, ekspansi sawit,” ujarnya saat dihubungi di Bogor, Sabtu (20/1/2024).
Ia mengungkapkan, perlunya standar operasional prosedur (SOP) dan standar yang memenuhi safeguarding lingkungan, masyarakat adat dan lokal.
“How-nya ini harus melibatkan best practices yang sudah terjadi di lapangan, dengan melibatkan banyak diskusi serta partisipasi masyarakat sipil.
Menurutnya kebijakan apapun harus berdasarkan bukti, riset dan data. Dia mencontohkan, jangan hanya bagi-bagi susu sapi gratis tanpa riset. Padahal stunting bukan dikarenakan kurangnya susu sapi. Ini menurut Mardiyah mengabaikan banyak riset dan kampanye Air Susu Ibu (ASI).
Sementara itu, pegiat lingkungan Innandya Irawan, menilai kegagalan food estate di Kalimantan Tengah yang bermula dari penggundulan hutan dan penanaman tanaman pangan yang tidak cocok dengan kondisi tanah, sehingga memicu carbon emission dan membuat banjir kawasan sekitar.
Hal ini, menurutnya, jelas merugikan masyarakat adat secara langsung. Dia mempertanyakan solusi para paslon. “Bagaimana justifikasi dan ramifikasi dari rencana yang salah kaprah ini?” ujarnya.