News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Ikrar Nusa Bhakti Nilai Usulan Aturan 'Pemincangan' Presiden Perlu Direalisasikan

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Profesor Ikrar Nusa Bakti.

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai usulan aturan lame duck atau 'pemincangan' presiden perlu direalisasikan.

Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin, dalam sebuah forum diskusi yang digelar beberapa waktu lalu.

"(Aturan 'pemincangan' presiden) oh perlu. Yang diusulkan oleh Zainal Arifin Mochtar itu memang perlu," kata Ikrar, kepada wartawan di Jakarta Pusat, pada Senin (5/2/2024).

Ia menjelaskan, seorang presiden yang masih berkuasa sejatinya tidak boleh mencalonkan keluarganya dalam pemilihan umum.

Hal ini diduga terkait majunya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres pendamping Prabowo Subainto di Pilpres 2024.

Dalam hal ini, kata Ikrar, aturan 'pemincangan' presiden dianggap perlu agar presiden tidak dapat mengambil keputusan secara sewenang-wenang.

"Pengurangan kekuasaan pada presiden itu memang perlu dilakukan, supaya misalnya presiden itu tidak bisa mengambil keputusan seenak udalnya," jelas Ikrar.

Lebih lanjut, ia memberikan contoh mengenai Presiden Jokowi sebagai petahana, yang diduga membagikan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat dalam rangka pencalonan Gibran.

"Pembagian bansos di kala proses pemilihan umum itu sedang berlangsung sudah jelas-jelas itu adalah money politics atau pork barrel politics, dimana orang-orang dibagi beras," kata Ikrar.

Ia kemudian menyoroti adanya problem terkait data masyarakat penerima bansos di Kementerian Sosial.

"Maksud saya, Kementerian Sosial mengatakan 18 juta orang (penerima bansos), tapi ternyata dari data yang sekarang dikeluarkan 22 juta orang," jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, pembagian bansos yang dilakukan Jokowi saat ini terkesan tidak merata.

"Maksud saya, kayak sekarang lebih banyak dibagi di Jawa Tengah," kata Ikrar.

Lantas, Ikrar menilai, pembagian bansos oleh Jokowi yang menurutnya hanya di Jawa Tengah itu dilakukan untuk menggembosi suara pasangan calon tertentu di Pilpres 2024, khususnya yang memiliki basis yang kuat di wilayah Jawa Tengah.

Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, dibanding bergenigenit soal memakzulkan presiden, lebih bagus membincangkan soal 'memincangkan' presiden.

Zainal awalnya menjelaskan, dalam ilmu hukum tata negara terdapat istilah 'lame duck' atau 'bebek pincang'.

Dalam konteks presiden, ia menuturkan, beberapa negara menerapkan aturan 'memincangkan' presiden untuk menurunkan daya kuasanya, khususnya menjelang transisi pemerintahan.

"Presiden di beberapa negara ya, menjelang pemilu atau transisi antar pemilu, atau transisi menuju ke pemerintah selanjutnya itu rata-rata dipincangkan. Dibuat menjadi tidak bisa berdaya, sedaya guna presiden biasa. Itu ada, banyak," kata Zainal, dalam diskusi secara virtual bertajuk 'Presiden Berkampanye?' yang digelar Universitas Pramadina, pada Senin (29/1/2024).

Ia mengatakan, banyak kepentingannya untuk dilakukannya 'lame duck' terhadap presiden.

"Termasuk bukan saja untuk kepemiluan, tapi menghindari yang namanya Cinderella Action. Menghindari biasanya presiden itu menjelang menjadi orang biasa itu kemudian mengeluarkan peraturan banyak sekali," tuturnya.

Sebagai contoh, Zainal mengatakan, Presiden Amerika Serikat Ke-44 Barack Obama, sebelum masa kepemimpinannya habis dan akan menjadi orang biasa, mengeluarkan 144 kebijakan baru.

"Kita harus mulai memincangkan presiden. Bukan hanya soal kampanye. Kampanye itu hanya satu titik kecil. Kita harus membicarakan bagaimana dengan hak protokoler keuangan, kita harus membicarakan bagaimana dia (presiden) membangun politik anggaran," jelas Zainal.

"Karena apapun yang diputuskan oleh presiden di tahun ini, khususnya di Agustus nanti, itu akan berlaku untuk presiden baru lho," sambungnya.

Bahkan, kata Zainal, Nigeria termasuk negara yang mengancam pidana jika presiden menghalang-halangi proses transisi pemerintahan.

"Ini berlaku bukan untuk pemilu 2024 saja. Diatur bahwa presiden tidak bisa menyelenggarakan roda pemerintahan sama seperti ketika dia menjadi baru dilantik, karena ada potensi konflik kepentingan," katanya.

Adapun hal ini menurutnya dapat dilakukan oleh DPR, karena lembaga legislatif itu memiliki kewenangan dalam hal demikian.

"Sebenarnya ini sederhana, karena DPR bisa melakukan itu," ungkap Zainal.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut dia boleh berkampanye dan memihak kandidat tertentu yang maju di Pilpres 2024.

Adapun hal tersebut menimbulkan perdebatan lantaran diduga mengandung konflik kepentingan, terkait putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di 2024.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini