Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menjawab kekhawatiran praktik kecurangan pemilu pada sengketa Pilkada 2024 mendatang bakal sulit dibuktikan.
Juru Bicara MK, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, seluruh proses pengambilan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK harus sesuai dengan hukum acara.
Melalui hukum acara, pembuktian dalil para pihak yang berperkara dibuktikan dengan didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
"Tidak berdasar atas asumsi, apalagi PHPU adalah penyelesaian perkara atau kasus konkret di mana semua pihak berkedudukan sama dan harus didengar berdasarkan bukti-bukti yang diajukan masing-masing," kata Enny Nurbaningsih, saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (26/6/2024).
Enny menjelaskan, jika MK merasa ada pihak-pihak yang perlu untuk didengar dalam rangka memperkuat keyakinan hakim, Mahkamah Konstitusi dapat saja menghadirkan pihak-pihak yang dimaksud.
Sebagaimana beberapa putusan MK pada PHPU Pileg 2024, kesembilan hakim MK dapat membuktikan ada atau tidaknya persoalan-persoalan dalam perselisihan hasil pemilihan.
Baca juga: Bawaslu Akui Hingga Saat Ini Belum Bisa Tindak Netralitas Kepala Desa di Pilkada 2024
Hal tersebut terbukti dari total 106 perkara sengketa pileg, ada 44 perkara yang dikabulkan oleh peradilan yang dijuluki "The Guardian of Constitution" itu.
Lebih rinci, 44 perkara tersebut terdiri dari 21 amar putusan yang menyatakan "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian", dan 6 putusan dengan amar putusan "Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya".
Sementara itu, berdasarkan perintah putusannya, dari total 44 perkara dikabulkan tersebut, ada sebanyak 21 putusan MK yang memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Baca juga: Pekerja Freelance Gugat UU Tapera ke MK, Ingin Pendaftaran Dilakukan Secara Sukarela
Kemudian, sebanyak 11 putusan MK memerintahkan KPU untuk menggelar penghitungan ulang surat suara.
Selanjutnya, ada 6 putusan MK yang meminta KPU melakukan rekapitulasi suara ulang dan 4 putusan memerintahkan KPU untuk melakukan penyandingan data suara ulang.
MK Lebih Progresif Putuskan Sengketa Pileg
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, MK lebih progresif saat memutus sengketa Pemilihan Legislatif (pileg) dibandingkan Pemilihan Presiden (pilpres).
Titi menjelaskan, hal tersebut dibuktikan oleh beberapa putusan MK pada sejumlah perkara, yang membatalkan hasil pilkada di beberapa daerah dan memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) akibat adanya penyalahgunaan program dan anggaran pemerintah ataupun mobilisasi ASN dan birokrasi untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu.