News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Simpulan Rangkaian FGD Soal Otda: Masyarakat Butuh Sistem Baru Rekrutmen Calon Kepala Daerah

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana FGD di Kampus Universitas Nusa Nipa Mumere, Jumat (16/8/2024).

Dia menambahkan, alam rangkaian FGD itu para peserta menyampaikan testimoni sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum kelemahan itu adalah fakta kalau pemerintah pusat lebih banyak menerima manfaat.

Sedangkan warga di daerah-daerah lebih banyak menerima dampak negatif.

Di berbaga idaerah FGD itu mendapat dukungan para peserta. 

Dr Jonas KGD Gobang, Rektor Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya mengharapkan aktifitas berpikir seperti yang diperkenalkan Agenda 45 untuk dilanjutkan.

“Jangan hanya berhenti pada FGD hari ini saja, kita perlu terus menerus membuat kegiatan seperti ini,” katanya.

Dengan demikian, secara tak langsung masyarakat akan mendapatkan kebiasaan berpikir baru dalam memilih calon pemimpin yang mengerti persoalan masyarakat dan cara memecahkannya.

Dikatakan, Otonomi Daerah mesti berfungsi mewujudkan prinsip-prinsip inklusi, pemerataan, tidak merusak budaya, sumber daya alam, dan sumber daya.

Persoalan pembagian hasil sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan mendapat banyak perhatian para peserta FGD.

“Isu nikel saban hari diperbincangkan di dalam negeri hingga ke internasional, dan dalam wujudnya itu ada di Morowali. Tahun 2023 nilai ekspor nikel sekitar 16,2 Milliar Dolar jika dibanding dengan APBD Sulawesi Tengah yang cuma sekitar 6 Triliun, itu tidak ada apa-apanya,” ujar pegiat masyarakat sipil, Arianto Sangaji saat memimpin FGD di Palu, Senin (12/8/2024).

Apa yang terjadi, setidaknya di wilayah Sulawesi Tengah, kata dia, adalah terjadinya desentralisasi politik namun ekonomi tidak.

Menurut Arianto penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak tahun 2020 ditarik ke pusat.

“Sehingga, sebetulnya daerah ini tidak punya kekuatan dalam segi regulasi untuk mengelolah industri ini, padahal pencemarannya di sini gila-gilaan ada 5.000 mega watt Pembangkit Listrik tenaga Batu bara yang berujung pencemaran yang banyak dan meluas,” tambah dia.

Menurutnya, hak masyarakat hidup sehat pun terganggu operasi perusahaan tambang. Pemenuhan hak untuk sehat bagi warga yang terdampak itu terbukti berbelit di tingkat birokrasi.

Baca juga: Kasus Perdagangan Manusia di NTT masih Menjadi Permasalahan, Diperlukan Pembenahan Aparat

Keprihatinan atas kondisi juga dirasakan Lusia Salmawati, seorang pengajar bidang kesehatan masyarakat.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini