Aturan ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-IV-2008, Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28 D Ayat 3 yang menyinggung soal hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Veri menjelaskan, putusan MK telah menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan mengacu kepada nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.
"Karena hal ini akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak," kata dia.
Veri menilai, jika pasal-pasal ini dibiarkan keberadaannya akan berakibat pelanggaran terhadap konstiusi atau inskonstitusional.
"Kalaupun tetap dipaksakan, justru berpotensi dibatalkan oleh MK. Kondisi ini tentu tidak akan menguntungkan terhadap penataan grand desain kepemiluan," ujarnya.
Sementara itu, peneliti KODE Inisiatif Adelina Syahda menambahkan, sedianya pembentuk UU, yakni DPR dan Pemerintah, memperhatikan putusan-putusan MK dalam membuat RUU.
"Semestinya RUU ini mengacu pada apa yang sudah diputuskan oleh MK, mengingat putusan MK harus dimaknai sebagai perintah konstitusi," kata dia.