Ternyata, setelah diperiksa dan dianalisis, syarat-syarat tersebut belum memenuhi untuk diproses ke pengadilan.
"Sehingga dikembalikan kembali, dikembalikan kembali. Jadi ini agak memakan waktu," ungkap Wiranto.
Meskipun begitu, lanjut Wiranto, sudah ada koordinasi antara Komnas HAM dan Kejagung untuk melengkapi syarat formal dan material pada kasus Wasior dan Wamena.
Sehingga, kasus tersebut dapat dilanjutkan pada proses pengadilan.
Pada kasus Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II pada 2003 telah mengadili delapan anggota Polri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebagai catatan, kala itu, peradilan untuk anggota Polri masuk ke peradilan militer.
Sehingga, jika satu kasus telah diselesaikan di satu peradilan, tidak ada lagi penjatuhan hukuman untuk kedua kalinya.
Wiranto mengatakan, kondisi tersebut justru disalahartikan oleh warga Papua.
"Hal-hal seperti ini yang mengisyaratkan bahwa bukan karena pemerintah enggan menyelesaikan, malas menyelesaikan atau tidak mau menyelesaikan, tapi ada hal-hal teknis," ungkapnya.
Wiranto melanjutkan, hal seperti itulah yang terus digembar-gemborkan bahwa pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diselesaikan..
Oleh karena itu, perlu diadakan dialog, apakah hukuman pelanggaran HAM berat diselesaikan secara yudisial atau nonyudisial.
"Kita kan punya lembaga adat yang menyelesaikan masalah-masalah ini dengan cara-cara kekeluargaan. Bahkan di Papua, Papua bBrat, ada istilah bakar batu. Antar suku pun kalau ada perang sampai ada yang terbunuh, ada acara adat bakar batu, selesai," kata Wiranto.
"Ini salah satu budaya yang hanya bisa kita gunakan untuk jalur penyelesaian nonyusudial masalah pelanggaran HAM," lanjutnya.
Mengenai keadilan pembangunan di Papua, Wiranto mengaku mendapat banyak berita dari dalam negeri maupun luar negeri.