TRIBUNNEWS.COM - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan aset hasil pencucian uang milik travel penyelenggara umrah First Travel diberikan kepada negara berujung polemik.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan aset atau barang bukti sitaan yang dirampas oleh negara merupakan barang bukti yang hanya dipinjamkan menjadi bukti.
Abdul kembali menegaskan setelah selesai, bukti tersebut dapat segera dikembalikan.
"Barang bukti itu kan sebenarnya dipinjam untuk menjadi bukti, ketika selesai perkaranya dia kembali kepada pemilik sebenarnya itu hakikatnya" ujarnya dilansir dari tayangan YouTube ILC yang tayang pada Selasa (19/11/2019).
Karena hal itu, seharusnya pengadilan mempertimbangkan adanya penolakan.
"Mestinya dia harus melihat, saya tadi mendengar fakta sebelum putusan itu ada PKPU ada gugatan kepailitan yang kemudian terjadi homologasi kemudian ada kurator dan sebagainya," ungkapnya.
Pakar hukum pidana ini juga mengungkapkan bahwa hal tersebut adalah fakta yuridis.
"Seharusnya kalau Majelis Hakim sendiri mau mengakui penegakan hukum secara menyeluruh itu dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perkara ini," ujar Abdul.
Lanjut Abdul, yang paling mendapatkan legal standing untuk berhak menerima barang bukti adalah korporasinya.
"Karena masyarakat sendiri hubungan hukumnya dengan korporasi," pungkasnya.
Ia menyebut, saat ini barang bukti sudah menjadi kekayaan dan harta negara.
Dalam arti, ada aturan secara khusus mengenai perampasan aset dari Pengadilan yang di atur Menteri Keuangan.
"Menteri Keuangan yang mengelola kekayaan negara tetapi peruntukannya bisa diserahkan kepada pihak-pihak yang memang ditentukan," ujar Abdul.
Abdul menilai harus solusi yang realistis secara hukum terkait kasus tersebut.