Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada Jumat (18/3/2022).
Penetapan tersangka itu merupakan tindak lanjut dari proses laporan polisi tertanggal 22 September 2021 oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, berkaitan dengan video yang terdapat dalam akun YouTube Haris Azhar.
Video itu berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!!” berdasar pada hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.”
Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, padahal video tersebut mengungkap fakta penting bahwa pejabat publik mencampurkan antara bisnis dan jabatannya.
Baca juga: Jadi Tersangka, Haris Azhar dan Fatia KontraS Bakal Ajukan Praperadilan
Salah satu hal yang paling dilarang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
"Namun mengungkap fakta tersebut di Indonesia kini resikonya adalah pemenjaraan meskipun Haris-Fatia memiliki bukti yang solid dalam pengungkapan tersebut," kata Arif Maulana dari LBH Jakarta dalam jumpa pers daring, Sabtu (19/3/2022).
Sejak awal, tim advokasi menilai bahwa kasus ini ialah pemidanaan yang dipaksakan mengingat terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penyidikan.
Di antaranya yakni, penerapan pasal dalam penyidikan tidak memenuhi unsur pidana; proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini melanggar SKB Pedoman Implementasi UU ITE; dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Baca juga: Bivitri Susanti Sebut Penetapan Haris Azhar dan Fatia KontraS Lebih Mengerikan dari Kudeta
Tim advokasi menilai penetapan tersangka ini harus diuji secara hukum, agar penggunaan instrumen hukum dan aparat penegak hukum bertujuan membungkam tidak dibiarkan leluasa dan terus diulang-ulang oleh pihak yang merasa berkuasa.
"Sebagaimana dengan janji jabatannya, aparat penegak hukum hanya mengabdi pada konstitusi dan negara, bukan mengabdi pada kekuasaan. Oleh karenanya berhentilah menjadi alat kekuasaan dan kembali melayani konstitusi dan kepentingan publik, bukan kepentingan individu," kata Arif.
"Selain itu, pemidanaan untuk tujuan pembungkaman ini juga menunjukkan garis batas tentang kebenaran dan pihak yang khawatir terbongkarnya skandal yang menempuh cara tidak demokratis," imbuhnya.
Baca juga: Jadi Tersangka, Haris Azhar Sindir Luhut Ogah Buka Big Data Penundaan Pemilu
Di tengah praktik kriminalisasi ini, disebut tim advokasi, kebebasan sipil di Indonesia terutama di Papua ada dalam kondisi krisis ketika penangkapan sewenang-wenang, pembatasan akses, pembunuhan terhadap warga sipil, serta pengungsian akibat dari dampak eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata di Papua turut terjadi.
"Bahwa berangkat dari situasi tersebut, penetapan tersangka bukan menjadi peristiwa tunggal semata melainkan bereskalasi terhadap kondisi di Papua yang akan menghadapi ancaman dan tantangan lebih serius," ujar Arif.