Keterangan tertulis dari Presiden tersebut, kata dia, diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 4 Oktober 2021 dan dibacakan pada 5 Oktober 2021.
Presiden, kata Suhartoyo, juga menyampaikan tambahan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 1 Desember 2021.
Kemudian, lanjut dia, Mahkamah juga menimbang bahwa berdasarkan Ketetapan Pihak Terkait nomor 5.32/PUU/TAP.MK/PT/9/2021 tanggal 9 September 2021 Mahkamah telah menetapkan DKPP sebagai pihak gerkait dalam perkara a quo dan kemudian dipanggil untuk memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah tanggal 5 Oktober 2021.
Namun, lanjut dia, pihak Terkait DKPP tidak memenuhi panggilan sidang dimaksud dan hanya menyampaikan keterangan secara tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 Oktober 2021.
Pada pokoknya, lanjut Suhartoyo, DKPP menerangkan bahwa pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban DKPP dalam UU Penyelenggara Pemilu didesain dalam mekanisme dan prosedur kerja pengadilan (quasi peradilan) untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kdoe etik penyelenggara Pemilu.
Untuk itu dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, DKPP mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip peradilan hukum.
"Selanjutnya, untuk memberi kepastian terjaganya kredibilitas penyelenggara Pemilu serta kredibilitas pemerintahan yang terbentik dari hasil Pemilu, UU mengatur putusan DKPP bersifat final and binding (final dan mengikat)," kata Suhartoyo menjelaskan keterangan pihak DKPP dalam perkara tersebut.
Diberitakan sebelumnya MK mengabulkan sebagian permohonan Evi dan Arief dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan pada Selasa (29/3/2022).
"Amar Putusan. Mengadili. Satu. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/3/2022).
Kedua, lanjut Usman, MK menyatakan ketentuan pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan tersebut, kata Usman, sepanjang tidak dimaknai, Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.
Ketiga, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
"Empat. Menolak permohonan para Pemohon selain dan sebagainya," kata Usman.