"Kalau yang terjadi di Indonesia saat ini yang besar adalah orangnya, bukan partainya," lanjut Agus.
Akibatnya, partai politik tidak berbasis organisasi partai, melainkan berbasis pada tokoh.
"Misalnya orang melihat PDIP, bukan melihat oraganisasi PDIP, melainkan melihat Bu Megawati."
"Kalau orang lihat Gerindra yang dilihat bukan Partai Gerindranya tapi Pak Prabowonya."
"Jadi kenyataannya nama pimpinan partai lebih besar daripada organisasi partainya," sambung Agus.
Sehingga, ke depannya harus dikembalikan lagi ke konstitusi.
Agar ke depannya identitas partai itu dapat terwujud.
Baca juga: Bawaslu Akan Dalami Laporan Dugaan Pelanggaran Kampanye Zulhas, Tapi Akui Tak Bisa Menindak
"Jadi dalam pemilu, setiap orang memiliki identitas kepartaiannya, supaya dia memiliki ideologi dalam memilih seseorang itu."
"Bagaimana rakyat memiliki ideologi partai kalau partai politik itu tidak memiliki visi misiyang kuat," kata Agus.
Menurut Agus, perilaku pemilih itu ditentukan dengan identitas partainya.
"Sebuah partai yang baik, itu perubahan menang dan kalahnya itu minimal 25 tahun, itu identitas partainya bagus."
"Tapi kalau setiap pemilihan partai menang dan kalahnya berganti-ganti itu menunjukkan identitas partainya tidak kuat."
"Indonesia mengalami itu hari ini, calegnya kalah lalu pindah partai. Itu tidak mengajarkan kebaikan karena tidak punya konsiten," kata Agus.
Baca juga: Tiga LSM Laporkan Mendag Zulkifli Hasan ke Bawaslu Terkait Dugaan Pelanggaran Pemilu
Ini tentu membuat rakyat juga tidak memiliki identitas partai, padahal kata Agus, identitas partai itu penting.
"Identitas partai itu jadi ciri negara yang sudah memiliki kekuatan demokrasi."
"Untuk itu kepedannya juga perlu disampaikan, KPU (harus) membuat aturan yang bisa membesarkan nama partai, bukan membesarkan nama calon," harap Agus.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)