TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ipda Arsyad Daiva Gunawan, anak seorang anggota DPR RI, terseret dalam kasus pembunuhan Brigadir J di rumah Ferdy Sambo dihukum demosi selama tiga tahun.
Saat kejadian tersebut berlangsung, Ipda Arsyad Daiva Gunawan menjabat sebagai Kasubnit I Unit I Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan.
Ipda Arsyad Daiva Gunawan adalah anak dari anggota DPR Komisi XI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan.
Hukuman demosi tiga tahun dijatuhkan terhadap Ipda Arsyad Daiva Gunawan dalam Sidang Kode Etik dan Profesi Polri (KKEP).
Sebagai informasi, demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah yang berbeda.
Baca juga: Kejaksaan Agung Akan Umumkan Perkembangan Berkas Kasus Ferdy Sambo Pekan Ini
Dalam penjelasannya, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Nurul Azizah menyatakan bahwa Ipda Arsyad terbukti telah melanggar etik.
"Adapun sanksi administratif berupa mutasi bersifat demosi selama 3 tahun semenjak dimutasikan ke Yanma Polri," kata Nurul dalam konfrensi pers virtual, Selasa (27/9/2022).
Keputusan demosi itu diputuskan oleh Ketua Komisi KKEP Kombes Pol Rahmat Pamuji.
Selain itu, dia juga dibantu oleh Kombes Pol Sakius Ginting dan Kombes Pol Pitra Andreas Ratulangi selaku anggota komisi sidang.
Dalam sidang Ipda Arsyad, pihaknya juga menghadirkan sebanyak 6 orang sebagai saksi.
Mereka adalah AKBP AR, AKBP RS, Kompol AS, Kompol IR, AKP RS, dan Briptu RRM.
Selain demosi, kata Nurul, Ipda Arsyad juga diminta memberikan pernyataan minta maaf secara lisan dan tertulis di hadapan sidang KKEP dan kepada pimpinan Polri.
"Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi selama satu bulan," ungkapnya.
Dalam kasus ini, Ipda Arsyad disebut telah tidak professional dalam bertugas di kasus Brigadir J.
Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci kesalahan Ipda Arsyad.
Adapun pasal yang dilanggar yaitu pasal 13 ayat 1 peraturan pemerintah negara RI nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri juncto pasal 5 ayat 1 huruf C Pasal 10 ayat 1 huruf D dan pasal 10 ayat 2 huruf h peraturan kepolisian nomor 7 tahun 2022 tentang kode etik profesi dan komisi kode etik Polri.
"Atas putusan tersebut pelanggar menyatakan tidak banding," kata Nurul.
Perannya di Rumah Ferdy Sambo
Ipda Arsyad Daiva Gunawan diketahui adalah anggota Polri yang pertama kali mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir di rumah dinas Ferdy Sambo, Jakarta Selatan pada Jumat (8/7/2022).
"Dia (Ipda ADG) yang mendatangi TKP pertama kali itu," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
Dedi menyatakan bahwa Ipda Arsyad dilakukan proses sidang etik karena diduga tidak professional dalam bertugas di penanganan kasus Brigadir J.
"Dia (Ipda ADG) tidak profesional di TKP," pungkas Dedi.
Sebelumnya, ayah Ipda Arsyad, Heri Gunawan menyebut akan menerima semua konsekuensi dan mengikuti prosedur yang berlaku.
"Betul, Arsyad anak saya," kata Politikus Gerindra dari keterangan yang diterima Kompas.TV, Kamis (22/9/2022).
"Saya ikut sistem dan prosedur yang berlaku. Itu kan bagian dari risiko jabatan," imbuhnya.
Polri Jawab Soal Keterlibatan 3 Kapolda
Kasus tewasnya Brigadir J yang direkayasa Ferdy Sambo merembet ke banyak hal dan menyeret banyak pihak.
Di antaranya dugaan keterlibatan tiga kapolda, dugaan keterlibatan eks penasihat ahli kapolri, peran kakak asuh yang disebut-sebut melindungi Ferdy Sambo.
Termasuk yang ramai diperbincangan selama satu minggu ini soal jet pribadi yang dipakai Brigjen Hendra Kurniawan.
Atas perintah Ferdy Sambo, Brigjen Hendra Kurniawan ke Jambi menemui keluarga Brigadir J.
Brigjen Hendra Kurniawan dan rombongan datang menggunakan jet pribadi yang diduga fasilitas dari mafia judi online konsorsium 303.
Akhirnya Polri buka suara soal keterlibatan tiga kapolda hingga kakak asuh yang terseret pusaran kasus tewasnya Brigadir J.
Polri menyebut soal dugaan adanya 'Kakak Asuh' yang melindungi Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J hanya sebatas dugaan.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan sejauh ini, tidak ada sama sekali informasi terkait adanya upaya pelindungan seperti yang diberitakan.
"Terkait kakak asuh, adik asuh itu kan kembali lagi hanya dugaan. Tapi yang jelas saya sudah berkoordinasi dengan pak Dir (Dirttipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian) maupun Propam itu tidak ada," kata Dedi kepada wartawan, Jumat (23/9/2022).
Kakak Asuh Disebut Bantu Ferdy Sambo agar Divonis Ringan
Sebelumnya, Eks Penasihat ahli Kapolri yang juga Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Muradi mengungkap adanya sosok kakak asuh yang mencoba membantu mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo agar divonis ringan dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Istilah kakak asuh sendiri merujuk pada anggota Polri, baik yang sudah pensiun atau masih menjadi petinggi di institusi Bhayangkara.
"Keterlibatan (dalam kasus Brigadir J) tadi kan ada tiga. Pelaku langsung, orang yang terlibat langsung, dan orang yang tidak terlibat langsung tapi ikut di dalamnya," kata Muradi.
"Bisa jadi kakak asuh itu adalah yang ketiga. Kakak asuh ini adalah yang tidak terlibat langsung, tapi kemudian ikut merancang, ikut mendorong," tuturnya.
Mereka, menurut Muradi, mencoba melobi petinggi Korps Bhayangkara untuk meringankan hukuman Ferdy Sambo.
"Kakak asuh dalam model konteks yang sudah pensiun, ada yang belum, nah ini yang saya kira yang agak keras di dalam kan itu situasinya sebenarnya karena kakak asuh itu punya peluang, punya powerful yang luar biasa ya," jelasnya.
Muradi mengatakan sosok kakak asuh yang masih aktif itu menduduki posisi strategis di Polri.
Sosok tersebut masih membela Ferdy Sambo agar dihukum ringan dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
"Ini jadi makin keras, Sambo berani karena dia merasa dalam posisi berada di atas angin, masih ada yang ngebelain, makanya harus dituntaskan dulu soal orang-orang yang kemudian dianggap punya kontribusi terkait dengan posisi Sambo," ujarnya.
Dia pun meminta agar kepolisian tidak takut mengusut keterlibatan "kakak asuh" ini. Karena, menurut Muradi, jabatan di institusi polisi itu sama dengan di tentara yang bekerja dalam garis komando.
"Kalau dia tidak pegang tongkat komando, selesai sudah, kalau dia jadi kapolda sekadar megang asisten yang tidak strategis, selesai sudah. Kita punya pengalaman ketika Pak Gatot (Nurmantyo) panglima (TNI) diganti, selesai," ucap Muradi.