Ketiga, Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan yang layak sangat terbatas karena masih rendahnya pendidikan dan keterampilan mayoritas perempuan, terutama dari kelompok miskin, sedangkan perlindungan pekerja rumah tangga yang merupakan solusi bagi sempitnya lapangan kerja formal yang tersedia tidak mendapat perhatian dan perlindungan sebagai pekerjaan yang layak sesuai standar Konvensi ILO 189.
Indonesia belum meratifikasi konvensi ini sementara RUU PPRT yang telah hampir 19 tahun lalu diajukan oleh masyarakat sipil dan telah disetujui oleh Baleg DPR untuk disahkan di sidang Paripurna untuk dibahas, sampai saat ini belum juga diagendakan oleh Bamus.
Aliansi Perempuan Bangkit mengecam pihak-pihak yang menghambat proses legislasi RUU PPRT ini serta sikap-sikap feodal mereka yang abai terhadap kelompok perempuan miskin dan marginal.
Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan mendukung sikap MUI dan KUPI yang telah mengeluarkan fatwa agar segera mengesahkan RUU PPRT ini menjadi UU.
Kami juga menuntut agar PRT Indonesia di luar negeri memperoleh perlindungan maksimal sejak keberangkatan sampai kepulangan.
Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa Omnibus Law cq UU Cipta Kerja, tidak sesuai namanya karena justru memberikan legitimasi untuk memutuskan hubungan kerja dengan sewenang-wenang termasuk pemotongan upah untuk cuti hamil.
Demikian pula terkait RUU Omnibus Law Kesehatan yang akan memperbesar kontrol pemerintah terhadap profesi dan pelayanan kesehatan, karena itu Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar Omnibus Law tersebut bukan hanya direvisi, tapi harus dicabut.
Keempat, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk konsisten di dalam menghormati dan mengimplementasi hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan termasuk memberikan fasilitas untuk pemberian ASI yang telah dijamin dalam UU Kesehatan, termasuk menjamin para pekerja dan promotor hak kesehatan reproduksi yang dengan KUHP baru dapat dikriminalkan (pasal tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan).
Angka kematian ibu dan anak (AKI dan AKA) yang masih tinggi disebabkan karena tidak diakuinya dan tidak dipenuhinya hak kesehatan reproduksi dan seksual karena kendala moral dan norma lainnya seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah untuk mengatasinya.
Kami juga meminta DPR untuk melakukan Monitoring atas kinerja pemerintah dalam hal penurunan AKI dan AKA termasuk masih banyak terjadinya perkawinan anak yang antara lain menyebabkan anak-anak stunting.
Kelima, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk memastikan implementasi UU PKDRT, UU TPPO, UU TPKS, khususnya sikap bias aparat penegak hukum yang masih mengadopsi nilai-nilai patriarki dan tidak berpihak kepada korban.
Menteri PPA, Komnas Perempuan, dan Komnas HAM hendaknya melaksanakan mandatnya dengan baik, tidak saja untuk memonitor kapasitas aparat penegak hukum, tapi juga mengimplementasikan pasal 5 CEDAW dan mengawasi pelaksanaan konsep restorative justice yang di beberapa kasus justru memberi keuntungan kepada pelaku dan mengabaikan hak rehabilitasi korban.
Dalam kaitan UU TPKS, secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar peraturan pelaksanaannya segera diterbitkan dengan melibatkan masyarakat sipil secara aktif.
Selain itu kami menuntut pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO nomor 190 tentang Penghapusan Pelecehan dan Berbasis Gender di Dunia Kerja.
Keenam, Aliansi Perempuan Bangkit, prihatin dan mengecam keras atas menguatnya KKN secara sistemik, juga peringanan hukuman dalam KUHP, khususnya meminta agar pemerintah mengupayakan pemberantasan korupsi dengan program preventif yang lebih masif, termasuk memberi hukuman yang berat terhadap pejabat-pejabat pemerintah yang melakukan sextortion.
Ketujuh, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut negara untuk menjamin proses demokrasi dengan memastikan terselenggaranya Pemilu 2024, dengan mitigasi potensi konflik yang sudah bermunculan dan memastikan pelibatan bermakna kelompok perempuan dan kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya (masyarakat adat, disabilitas, dan lansia) dalam proses demokrasi.
Agenda lima tahunan yang telah ditetapkan konstitusi dan UU terkait harus tetap berjalan dengan berbagai kondisi, karena menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden akan menimbulkan kerugian lebih besar bagi masyarakat dan negara Indonesia.
Dalam kaitan dengan pemilu ini, Aliansi Perempuan Bangkit juga menuntut pemerintah untuk memastikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di lembaga legislatif di semua tingkatan.
Demikian pula sebagai pelaksanaan UU Partai Politik, pemerintah dan DPR harus memastikan keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif dan lembaga negara lainnya.
Kedelapan, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya-tidaknya menunda pelaksanaan pembangunan IKN dan memprioritaskan pemulihan hak-hak dasar rakyat terutama hak atas tanah, hak masyarakat adat, lingkungan hidup, serta pemulihan lingkungan dan menghentikan eksploitasi sumber daya alam, memitigasi risiko bencana akibat krisis perubahan iklim, dan pemulihan ekonomi rakyat pasca-pandemi.
Kesembilan, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar pemerintah memastikan proses demokratisasi yang menghormati prinsip keadilan sosial, keadilan gender, dan ekologis, termasuk prinsip anti kekerasan dan non-diskriminasi serta menghargai pluralisme dan prinsip-prinsip HAM.
Secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk memenuhi janji menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu dengan berpegang pada prinsip-prinsip transitional justice dan penghentian seluruh impunitas, kekerasan politik, dan eksploitasi sumber daya alam yang masih terjadi di Papua. (*)